08

709 60 1
                                    

Happy reading!

❣️

Tressa baru saja keluar dari kamar mandi, perempuan itu mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil lalu segera melangkah mendekati komputer miliknya.

Masih dengan handuk yang ia usapkan pada helaian rambutnya, Tressa mulai menyalakan layar komputer dan menatap beberapa jadwal yang akan di lakukannya esok hari.

Perempuan itu menyampirkan handuk kecil tadi pada bahu lalu kembali memperhatikan segala yang ada di layar monitor. Setelahnya, Tressa bergerak membuka laci, mengambil sisir lalu menyisir rambutnya yang baru saja ia shampoi tadi.

Sebenarnya ia berniat untuk melakukan perawatan rambut di salon sore ini, namun setelah di kaji dengan cermat, nampaknya ia tak akan pulang ke apartemennya lagi, melainkan langsung menuju Rumah Sakit Jantung Sagraha. Satu dari sekian banyak rumah sakit Reseda International Medicial Center Group milik keluarga Kharis yang membutuhkan tenaga kerja dokter bedah jantung.

Tressa mengusap tengkuknya, memijitnya perlahan. Lehernya terasa begitu berat, dimana ia menduga hal itu dapat terjadi karena dirinya yang memang semakin sibuk belakangan ini.

Menjadi dokter memang tidak mudah. Namun gaji yang ia terima juga membuatnya cukup puas meski uang saku mingguan yang selalu ayahnya kirim untuknya jauh lebih banyak dari itu, entah apa tujuan sang ayah terus mengirimkannya uang sementara ia ngerasa cukup dengan uangnya sendiri.

Kadang Tressa merasa tak enak hati dengan kedua orang tuanya, apalagi ia justru memilih untuk mengabdi menjadi seorang dokter dibandingkan meneruskan usaha keluarganya.

Ayah dan ibunya memang tak keberatan dengan ia yang memilih untuk menggeluti dunia kedokteran, tapi keluarga besarnya berbeda, para bibi dan sepupunya seolah menyayangkan dirinya yang tak meneruskan usaha keluarga. Mengingat Tressa adalah anak tunggal kedua orang tuanya.

Tressa menghela nafas begitu mengingat hal tersebut. Perempuan itu meraih ponselnya di atas meja, pandangannya jatuh pada sebuah notifikasi pesan dari Kharis.

Kharis B.
Tress, I'm sorry About that.
Can We meet?
I will treat you.

Tressa terlihat berpikir sejenak lalu segera mengetik pesan balasan untuk Kharis.

Sorry Kha, maybe next time. I'm bussy.

Tressa mengirimkan pesan tersebut yang langsung di baca oleh sang empunya, dapat perempuan itu lihat balasan yang datang lebih cepat dari pikirannya. Kharis mengajak Tressa untuk makan bersama besok siang, setelah berpikir cukup lama, akhirnya Tressa mengiyakan ajakan tersebut.

Dirinya tak mungkin terus marah kepada Kharis, bisa-bisa ia di tendang dari rumah sakit milik keluarga temannya itu.

Tressa menggeleng pelan, ia menatap jendela ruangannya yang basah akibat tetesan air hujan yang jatuh dengan derasnya. Ia menghela nafas, sebelum akhirnya berdiri untuk pergi menuju ruang operasi. Kharis harus membayarnya lebih untuk bekerja sampai tengah malam nanti.

Setelah enam jam berlalu, barulah perempuan cantik dengan wajah khasnya itu berjalan tertatih keluar dari ruang operasi. Dapat ia lihat para bawahannya yang nampak mengantuk dengan mata yang benar-benar memerah.

"Kalian istirahat dulu. You guys look like a zombie."

"Ah, terimakasih dokter! Tapi kami mau makan dulu, lapar banget nih!" Raya menyikut Gilang yang dengan terang-terangan mengusap perutnya yang memang membutuhkan asupan saat ini.

"Ya, kalian makan dulu," Tressa menyentuh saku snellinya, meraih dompet lalu mengeluarkan sebuah kartu kepada Gilang dan juga Raya.

"Pakai ini saja. Kembalikan besok siang, Itupun kalau kantin masih buka jam segini."

Sound of HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang