"Riyadh, kalau kau tidak melakukannya, kau akan dieksekusi."
Setelah mengatakannya, Lilah bergerak ke arah puluhan warga yang menari memutari api unggun. Entah sudah berapa jam aku tertidur dan telah melewatkan apa saja di sini; disebut desa kecil yang menyandang kutukan, ritual tahunan diadakan sebagai bentuk sesembahan kepada Sang Temurun. Setiap keluarga diberi tiga pilihan; menari sebelas jam tanpa henti, memakan sepiring daging mentah sampai tandas atau mencungkili dua puluh kuku jari tangan dan kaki sendiri.
Aku dan Lilah telah delapan belas tahun berteman dan sekitar itu pula menemukan hal mengerikan pada ritual tahunan ini, karena pada usia ke-10, warga desa diwajibkan ikut ritual tahunan. Rasanya, tiga hal di atas meski terkesan menyeramkan, masih bisa dikatakan waras ketimbang tidak melakukannya sama sekali. Jika mengabaikannya, kami akan masuk ke dalam sesi cap-cip-cup, dan yang terkena nahasnya bakal digantung hidup-hidup.
Pada umur yang ke-12 dan 13, aku pernah kehilangan dua puluh kuku jari tangan sampai kaki. Di usia 15 hingga 17, aku memakan sepiring daging mentah dengan mual. Sisanya, aku lebih sering mengorbankan tenaga untuk menari, akibatnya telapak kaki melepuh. Hari ini, Lilah ikut keluarganya melakukan itu, memutari api unggun—tanpa iringan musik, di siang yang terik, tanpa makan dan minum. Hanya berhenti ketika pingsan, usai siuman bakal berlanjut hingga sesi penghakiman bagi warga yang tak melakukan dari ketiga hal itu diberlangsungkan.
Sisa aku dan beberapa keluarga yang masih duduk di bangku-bangku tertata. Ayah dan Mama telah makan seperempat daging mentah di atas piring. Mereka berkeras aku harus melakukannya dan aku menolak. Potongan daging mentah—entah daging apa—setumpuk penuh, berkombinasi dengan darah amis sama sekali bukan paket santapan lezat. Jadi, aku mendorong piring di depanku menjauh.
"Riyadh," celetuk Mama. Mulutnya penuh noda merah. "Kau harus memakannya. Sampai habis."
Sudah pukul tiga sore, masih ada waktu sampai jam 12 malam sebelum sesi cap-cip-cup dilakukan, artinya kesempatan masih ada di tanganku untuk melakukan perlawanan—atau menumbalkan diri—pada Sang Temurun. Bagaimana caranya, aku tidak punya ide. Satu-satunya hal logis oadalah melakukan penyelidikan ke Zam Abasda, seorang pria berumur seabad lebih yang seumur hidupnya hanya duduk di bangku kayu dan maut belum menjemputnya hingga sekarang.
Aku bergegas melewati warga yang melakukan hal tidak waras, dan menemukan Zam Abasda di bawah pohon akasia lebat, sepuluh meter dari kerumunan. Dia masih duduk di bangku kayunya yang reyot—dua cucu lelakinya pasti yang membawanya kemari.
Aku mendekat sembari mengeluarkan bilah belati di balik baju—
Seseorang menahan tanganku. "Bukan kau satu-satunya yang ingin membunuhnya."
Harun melangkah di depanku. Perawakan pemuda umur dua puluhan itu besar bagai tukang jagal, dan adiknya demikian. "Kuperingatkan kau, jika kutemukan secuil lecet di kulit Kakekku, kau akan tergantung di pohon untuk penghakiman."
"Hanya akal-akalanmu untuk menakuti. Aku tidak takut dengan kalian." Aku berujar. Faktanya, saling membunuh adalah larangan di desa ini. Hanya orang yang mendapati sial akan digantung sebagai sesembahan. Jika itu pikir si kembar akan meluluhkan tekadku, tentu saja tidak.
"Semua orang ingin membunuhnya karena mereka pikir dengan melakukannya, ritual sesembahan ini akan berakhir selamanya." Haran berujar. Adik kembar Harun ini masih mencengkeram satu pergelangan tanganku di belakang. "Dan mereka tentu tidak akan pernah bisa melakukannya. Tidak, selagi kami masih hidup."
Ini bukan sebuah ritual, tetapi penyanderaan oleh seseorang yang disebut Sang Temurun psikopat gila, yang memiliki kesukaan aneh dengan ritual-ritualan dengan nyawa taruhannya. Warga desa tidak mungkin tak sadar. Jika kepala mereka tidak kosong, mereka mestinya menaruh curiga pada Zam Abasda yang usianya seratus sembilan belas tahun dan tidak mati-mati. Kendati manula itu di usia matangnya selalu mengikuti ritual sesembahan dan di masa tuanya ia berhenti melakukannya. Namun, dia satu-satunya sesepuh di desa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengampu Sang Penemu NPC
Short StoryDi awal tahun ini, sudah saatnya kita mencari sosok gaib dalam komunitas ini. Sosok yang konon katanya, jika dicari, maka akan semakin gaib. Ikuti keseruan ceritanya dalam buku ini. Cover by @shelly_fw