Lembap. Dingin. Remang-remang.
Hal yang bisa kulihat hanyalah lantai batu hitam keras dan jeruji sel yang berjajar kaku. Sesekali cahaya redup dari lentera melewatiku kemudian hilang dalam sekejap. Suara-suara samar orang mengobrol sering kali terdengar sayup-sayup, lalu menghilang digantikan dengan suara napas dan degup jantungku.
Aku tidak tahan lagi. Sudah tiga hari aku di sini dan tidak ada tanda-tanda akan ada yang mengeluarkanku, baik dari yang kuharap menyelamatkanku, atau bahkan dari pihak yang membawaku kemari. Aku sudah putus asa.
Derit pintu besi terbuka menggema di sepanjang lorong di depan selku. Suara sepatu kulit yang menjejak lantai basah perlahan mendekat. Aku yang sedari tadi duduk memeluk lutut dengan kepala menunduk menengadah untuk melihat siapa yang datang. Seorang pria kekar berambut cepak, bertelanjang dada bertombak dengan pelindung bahu dan dada kiri, membawakanku sepiring makanan. Dia berjongkok menyerahkan piring makan itu melewati jeruji besi.
"Habiskan. Kau harus sehat untuk upacara nanti," katanya dengan suara berat nan mengintimidasi. Senyum miring terukir di wajahnya saat dia pergi meninggalkanku.
Piring itu terisi nasi, daging, sayur, dan kacang polong, disertai sendok kayu. Cukup menggiurkan kalau saja aku tidak ingat sedang disekap di sebuah penjara selama berhari-hari. Nafsuku telah hilang, tetapi perutku tidak bisa berbohong.
Aku makan tanpa tenaga sampai hanya menyisakan seperempatnya.
Waktu seakan berhenti. Aku sudah tidak tahu lagi ini hari apa, jam berapa, atau sudah berapa lama aku di sini. Garis yang kubuat di tembok berjumlah tiga, tapi aku tidak yakin apakah itu hitungan yang benar atau tidak. Aku sudah tidak peduli lagi.
Pintu besi kembali berderit. Kini, ada dua orang yang datang menghampiriku. Dua penjaga, dan salah satunya adalah yang memberiku makan sebelumnya. Salah satu pria besar yang berambut ikal membuka pintu. "Ayo, keluar!" perintahnya. Dia mengeluarkan tali tambang dari balik tubuh.
Aku yang teringat dengan kata "upacara" yang pernah disebutkan si Pria Pemberi Makan, refleks mundur terseok-seok. Apa yang akan mereka lakukan padaku? Aku akan dibawa ke mana?
"Tidak! Tidak! Menjauh!" Aku berteriak sekuat tenaga, melemparkan piring bekas makan yang masih tersisa nasi dan lauknya.
Si pria berambut ikal berdecak karena butiran nasi menempel di wajahnya yang garang. Perlahan sambil memainkan tali tambang di tangannya, dia mendekatiku yang tenggelam dalam bayang-bayang tubuh besarnya. Aku bergelung, menangis, memohon agar dia tidak menyakitiku. Namun, pria itu menangkup wajahku dengan satu tangannya sampai mukaku yang berpaling menghadapnya.
"Aku tidak tahu apa yang Tetua lihat dari gadis kecil lemah sepertimu," bisiknya tajam. "Tapi, kau akan jadi kunci untuk upacara hari ini. Berbanggalah karena pengorbananmu tidak akan sia-sia."
Aku menggeleng-geleng. Air mata tumpah ruah seperti banjir bah. Akan tetapi, kedua pria itu hanya tertawa geli seperti seorang psikopat keji.
Si pria berambut ikal melepaskan cengkeramannya dan berganti mengikat tanganku dengan tali tambang. Dia lantas menyeretku paksa keluar sel diiringi si pria berambut cepak menjaga di belakang. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah dan mencari celah untuk kabur kalau ada.
Aku melangkah lemah melewati lantai batu yang dingin dan lembap. Genangan air membuat kulitku menggigil ketika tak sengaja kuinjak. Acap kali aku tersungkur karena terantuk batu yang mencuat dan hal itu membuatku mendapatkan pukulan di punggung atau kaki oleh si pria cepak bertombak.
Di sepanjang lorong, sel-sel terpampang kosong. Beberapa pintu ada yang terbuka seperti tawanannya telah dibawa keluar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain seiring aku digiring menaiki tangga keluar. Aku kembali tersungkur di titian tangga dan dipukul lagi untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengampu Sang Penemu NPC
ContoDi awal tahun ini, sudah saatnya kita mencari sosok gaib dalam komunitas ini. Sosok yang konon katanya, jika dicari, maka akan semakin gaib. Ikuti keseruan ceritanya dalam buku ini. Cover by @shelly_fw