Detak-detak gerigi waktu berputar. Berderik. Berdesir. Kemudian dengan dentang yang lantang, berkumandang. Mengumumkan 8 jam telah berlalu sejak pukul 12 siang tadi.
Dia merutuk. Waktu yang tersisa hanyalah 4 jam lagi, sementara di hadapannya hanya ada jalan buntu. Jejak yang sudah diikutinya sejak berbulan-bulan lalu berhenti di gang sempit yang tak memiliki jalur ke mana-mana lagi.
Sesaat timbul hasrat untuk mendobrak tembok batu-bata yang entah seberapa tebalnya itu saking putus-asanya. Namun membuat kerusakan pada fasilitas yang kemungkinan besar milik umum—setidaknya bukan miliknya sendiri, itu bukanlah pilihan bijak. Dia menghela napas panjang, menenangkan diri, sebelum merogoh saku mantelnya.
Deretan nama-nama orang yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Setengahnya sudah diberi coretan memanjang, tanda petunjuk yang diberikan sudah tak valid atau yang bersangkutan sudah tak bisa ditemui lagi—di luar jangkauan atau di luar dunia. Telunjuknya berhenti di salah satu nama yang sebetulnya tak terlalu panjang, tetapi cukup banyak mengandung huruf konsonan. Matanya memicing.
Tak ada pilihan lain, nama tersebut yang terdekat dari posisinya saat itu.
Crazy Cat Lady, rutuknya dalam hati ketika menemui sang pemilik nama. Di halaman sempit sebuah rumah mungil, dengan beberapa ekor kucing bergelimpangan santai di berbagai tempat dengan berbagai macam posisi, duduk seorang perempuan paruh baya. Tak kalah santainya dengan para kucing, dengan koran di tangan kiri sementara tangan kanannya bergantian meraih biskuit dan cangkir teh yang tersedia di meja mungil, samping kursi malasnya.
"Mau sampai kapan berdiri di situ?" tegur perempuan itu, di sela-sela sesapan tehnya.
Membuatnya celingukan, mencari-cari siapa gerangan yang ditegur.
"Ya, kamu itu. Memang ada berapa manusia berdiri di depan pagar rumahku?" Teguran kembali terdengar. Kali ini diikuti denting cangkir porselen dengan alasnya.
"Masuk saja. Aku sudah dengar tentang orang yang kasak-kusuk menanyai banyak hal dari teman-teman yang lain."
Ragu tetapi mengingat detik terus berjalan, dia pun meraih pagar dan mendorongnya sedikit. Derit gesekan engsel logam yang jarang diminyaki memilukan telinga. Pintu gerbang mungil itu pun terasa berat hingga dia merasa hanya perlu membuka sebatas setengah lebar badannya saja. Dia tinggal memiringkan posisi sedikit, lalu bisa lewat dengan mulus.
"Teh atau kopi?" tanya perempuan yang kini meraih poci di dekat cangkirnya.
"Err, tidak terimakasih."
"Ah, aku tidak menawarimu. Ini tebakan. Dalam poci ini, isinya teh atau kopi?"
Dia terdiam. Jelas-jelas sedari tadi perempuan itu menyeruput seduhan daun Camellia Sinensis, tetapi bila tiba-tiba menyodorkan tebakan macam begitu, bisa jadi isi pocinya bukanlah seperti yang diduga. Dia berpikir keras, mengkhawatirkan jawaban yang salah akan mengurangi kesempatannya mendapatkan petunjuk.
"Lama betul. Sudah jelas jawabannya teh, kan?" Lalu perempuan itu menuangkan isi pocinya ke cangkir dan menyesap dengan nikmat. "Aku cuma menggodamu, tak usah kesal begitu," perempuan itu menambahkan seraya terkekeh pada lawan bicara yang saat itu terlihat seperti ceret mendidih.
"Jadi?" tanya perempuan itu, setelah beberapa tegukan teh. "Apa yang mau kau tanyakan padaku?"
"Oh, ya," gumamnya sembari merogoh saku mantel, meraih amplop dokumen yang sudah kumal, tetapi isi yang dikeluarkan dari dalamnya tetap licin dan rapi. "Mengenai orang ini, apa ada informasi yang bisa kau berikan tentang bagaimana cara menemuinya?"
Selembar kertas bertuliskan data—penuh dengan coretan tinta hitam di sana-sini, dan sebuah foto usang yang tak terlalu jelas menunjukkan sosok seorang laki-laki, disodorkan pada perempuan yang kini meletakkan lipatan korannya di pangkuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengampu Sang Penemu NPC
Cerita PendekDi awal tahun ini, sudah saatnya kita mencari sosok gaib dalam komunitas ini. Sosok yang konon katanya, jika dicari, maka akan semakin gaib. Ikuti keseruan ceritanya dalam buku ini. Cover by @shelly_fw