PULAU NAPICI by shelly_fw

39 4 5
                                    

Saat pertama kali tiba ke pulau ini, keadaanku sebenarnya cukup payah. Kesadaranku lemah, pula keseimbangan tubuhku. Denyut nadiku antara ada dan tiada. Perlu ada orang yang memapahku hingga akhirnya aku beristirahat di atas dipan. Hari-hari selanjutnya, aku belajar layaknya balita yang baru mengenal dunia. Cara orang-orang di sini berinteraksi, memperoleh asupan makanan, serta bertahan hidup cukup berbeda dengan gaya hidup di daerahku berasal. Kalau di daerahku memperoleh makanan hanya perlu berbelanja dan memasak, mereka bisa melakukannya dari nol—memetik buah, mencuci sayur, mencincang daging, hingga penyajian dapat dilakukan oleh anak usia delapan tahun sekalipun. Begitu mandiri. Begitu dekat dengan alam. Kalau aku sering dimarahi ibu tiap kali hujan-hujanan, di sini aku bisa bermain sepuasnya di air terjun bernama Discirda. Terlalu lama bermain? Risiko tanggung sendiri. Toh walau aku bisa memperoleh tanaman penyembuh tanpa harus membelinya, aku tetap harus memberi kesempatan bagi yang lain untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

Rasanya seperti ... pulang. Maksudku, benar-benar pulang. Bukan seperti dengan keluargaku di pulau sebelumnya. Aku bagian dari keluarga itu, tapi jiwaku seakan merasa kosong. Rasanya, mereka hanya kerabatku di fase kehidupan kali ini. Tidak lebih. Di sisi lain, jiwaku mendambakan relasi yang lebih dalam dari itu. Aku tidak menganggap reinkarnasi sebagai sebuah kebenaran, melainkan sebuah kemungkinan. Aku mengalami reinkarnasi? Itu mungkin. Aku tidak mengalami reinkarnasi sama sekali? Itu juga mungkin. Begitulah. Terkadang, hal-hal yang dipahami jiwa jauh melampaui logika.

Ajaibnya, orang-orang di sini juga terbuka dengan hal tersebut (bukan hanya para tetua, tapi juga mereka yang berusia lebih muda dariku). Mereka tak mempermasalahkan perihal agama, silsilah, dan lain sebagainya. Selama bisa saling peduli dan menyayangi satu sama lain, kau diterima di sini.

"Sebaiknya kau tidak kabur dari masalahmu, Fla." ucap Kak Shi tempo hari. "Semakin kau berniat untuk kabur, semakin dalam kau mengubur bom waktu, semakin dirimu kewalahan kelak."

Ia benar. Aku lantas menanggapi setelah menyeruput teh melati. "Aku hanya perlu menjaga jarak dengan keluargaku, Kak. Suatu saat nanti aku akan kembali ke sana."

"Bagus. Janji yang diikrarkan pada diri sendiri lebih bagus." Ia tersenyum seraya menyulam. Omong-omong, Kak Shi ini tetanggaku. Ia juga yang selama ini membimbingku. Tempat tinggal di sini betapa sederhana dan terlihat sama besarnya. Tidak ada yang lebih besar atau jauh lebih mewah. Selebihnya bergantung pada kemampuanmu merawatnya. Tempat tinggalku rencananya akan kuhiasi dengan tanaman rambat yang indah.

Tempat tinggal yang kuhuni ini seolah memang dibangun untukku—kau bisa menempati rumah yang mana saja. Tinggal pilih, begitu. Uang sama sekali tak berlaku di sini. Aneh, ya? Tapi ini nyata. Beberapa kali aku mencubit diri sendiri. Lumayan sakit juga.

"Hai, Fla. Kau sudah siap?" Aku menoleh mendapati Nola bertanya padaku.

Sejujurnya, nama orang-orang di sini cukup aneh. Selain nama penghuni pulau yang sudah kusebutkan ada juga Momo, Gemaya, Ipul, Niku, Toro dan masih banyak lagi. Aku jadi bertanya-tanya apakah itu nama asli mereka atau bukan.

"Memangnya nama Fla tidak aneh?" tanya Gemaya padaku sebulan lalu. Kuakui, pemuda itu cukup sering membuat pipiku merona.

Ah, lagi-lagi aku melamun. Seharusnya aku segera menjawab pertanyaan Nola.

"Lumayan siap. Memangnya kita akan pergi sejauh apa, sih?"

"Sudah kubilang, kita akan mengadakan ritual pemanggilan penemu Pulau Napici."

Ah, itu. Tentu saja aku ingat. "Dan barang yang wajib dibawa selain lentera kertas adalah?"

"Tidak ada. Bawa diri beserta keyakinanmu saja."

Aku lantas mencari tanda-tanda kelakar dari Nola, tapi aku tak menemukannya. Kemudian aku mendapati lampion milikku lebih kecil daripada miliknya. Uh, sepertinya aku salah perhitungan ketika menggunting kertas.

Mengampu Sang Penemu NPCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang