He is The Friend We Made Along The Way by celestialruby

28 6 1
                                    

Mataku terus menyusuri kata demi kata yang tertulis di artikel hologram tersebut. Beberapa kali aku membuang napas dan desahan, membuat kedua temanku lirik-lirik cemas.

"Kenapa? Kenapa?" Fabi mendesak.

"Akses masuk ke pulau ini memang tidak sesulit akses ke lokasi lainnya, tapi ... belum pernah ada yang berhasil keluar dari sini. Para penduduk asli telah mengumpulkan batu kecubung biru agar tidak diambil para pelancong," jelasku.

"Apa alasannya?" Nadira bertanya.

"Siapa yang bisa jawab? Orang-orang yang berkunjung ke sini 'kan belum ada yang berhasil keluar," ujarku sambil menggeser-geser layar hologram hingga menampakkan peta pulau ini.

"Apa pun yang akan kita hadapi nanti pada misi kali ini, lihatlah! Kurasa itu sepadan dengan apa yang terhampar di depan sana," ujar Fabi dengan mata berbinar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Pasir nyaris oranye yang menghampar yang berulang kali tersapu oleh air laut, gundukan pulau-pulau kecil di tengah lautan, langit biru sempurna, dan hutan yang dipenuhi tanaman-tanaman eksotis hanya berjarak sepuluh sekitar lima belas langkah dari pantai. Warna-warni yang benar-benar berpadu dalam harmoni ini sungguh memanjakan mata.

"Ya Tuhan! Ini tempat terindah yang pernah aku lihat dengan mata kepala sendiri!" Ia dihinggapi letupan antusiasme.

"Sebagai pengganti libur akhir tahun misi ini boleh juga," ujar Nadira sambil mengembangkan senyum.

"Livi, kita ... harus ke mana?" tanya Nadira.

Aku menyodorkan tanganku ke arah mereka sehingga mereka dapat melihatnya. "Kita bakal jalan sebentar menembus hutan sampai ketemu sungai yang ini, rakit sampan, terus ikuti saja sampai bertemu pemukiman."

"Eh, kita tidak perlu ke gunung berapi ini? Cuma mengambil punya warga?" Fabi menunjuk ke gunung berapi nonaktif yang berada amat dekat dari pemukiman tersebut.

"Kita mencuri?" tambah Nadira dramatis.

"Mau bagaimana lagi, kita hanya perlu sedikit saja kok," jawabku.

***

"Fab, itu ada orang lain." Aku mendengar kasak-kusuk suara mereka di belakang.

"Itu orang?" Fabi malah melemparkan pertanyaan.

"Di mana ada orang?" Aku yang penasaran pun ikut bertanya.

Nadira menunjuk ke arah depan serong kanan kami. Seorang laki-laki berpenampilan layaknya penjelajah beserta seluruh barang bawaan lengkapnya.

"Apa lagi kalau bukan? Bajunya rapih kok, bawa barang-barang juga. Mungkin dia juga mau mengambil kecubung biru."

"Mau coba tanya?" tawar Nadira.

"Jangan dulu," sambar Fabi cepat.

Kami terus berjalan menembus hutan. Sepanjang perjalanan, beberapa kali kami melihat pria berpakaian layaknya pramuka itu. Kami terus mengabaikan keberadaannya hingga bertemu sungai sesuai dengan peta.

"Hey, kalian juga mau mencari batu kecubung biru?" Suara seorang pria yang datang tiba-tiba tersebut membuatku berjengit.

Kami kompak menatap wujudnya dari ujung kaki ke ujung kepala. Si pramuka bertas ransel besar itu hanya berdiri sambil tersenyum lebar.

"Iya, Mas-nya juga?" Nadira yang buka suara. Pria itu memang terlihat lebih tua dari kami, tapi ... panggilan 'mas' terdengar ganjil di telingaku.

Pria itu hanya mengangguk. "Kalian mau merakit sampan, bukan? Mari, biar saya bantu." Tanpa pikir panjang kami menerima uluran bantuan dari pria tersebut. Yah, kami dapat teman seperjuangan kurasa.

Mengampu Sang Penemu NPCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang