[19]

9 5 2
                                    


✧ ✧ ✧

Warung makan kini penuh akan ekspresi kenyang dan puas. Sebuah bayaran pantas bagi pejuang sepertiku yang tidak kenal lelah menjaga makanan agar terhindar dari kontaminasi.

"Hiyah!"

Satu lemparan api sudah kulayangkan pada lalat yang mengendap-endap di belakang punggung. Tidakkah mereka paham bahwa api menyinari setiap seluk beluk permukaan, sehingga tidak ada yang luput dalam tatapanku. Serupa dengan cara mata mereka bekerja, bukan? Hanya saja aku lebih hebat.

Setelah banyaknya buruh pekerja yang memanfaatkan waktu istirahat dengan menikmati masakan Ibu Warung, tempat makan ini perlahan menjadi sepi.

Lucunya adalah, lalat pun ikut pergi bersama manusia. Sungguh, siapa sebenarnya yang menarik siapa, kurasa tiada yang dapat memecahkan masalah itu. Serupa mempertanyakan mana yang lebih dulu, telur atau ayam? Sulit, 'kan? Manusia dan lalat itu paket lengkap.

TAK TOK

Suara langkah kaki itu membuat api di kepala semakin membara, seperti mengenal tanda bahaya. Dibanding bahaya, sosok yang melangkah kemari bukanlah milik manusia. Aku bersumpah pada setiap lelahan lilin yang tergenang ini, bahwa perkataanku benar.

Meski ketika menatap wujudnya, ia tidak berbeda jauh dari anak perempuan manusia.

Mungkin usia telah memakan logika. Kapan pula petarung sepertiku menggunakan kepala untuk memecahkan masalah, membunuh lalat dengn api adalah pekerjaan setiap hari. Namun, api ini tidak digunakan untuk menyelesaikan teka-teki.

Begitu pikirku, hingga wajah gadis itu kini berada begitu dekat. Rasanya tidak nyaman, tolong.

"Itu tongkol balado Teh, mau?" Aku melirik, hampir saja melupakan menu andalan di warung ini, di mana tempatku adalah posisi tertinggi bagi para lilin.

"Oh, bukan, Bu. Ini lilinnya ..." Tidak salah bila panas yang mengalir dalam batang lilin ini bergetar. Gadis itu benar-benar melihatku.

"Awet itu lilinnya Teh, udah lama belum abis-abis," jelas ibu warung dengan bangga. Memang aku adalah prajurit Anda paling membanggakan, bukan?

Sayang, kalimat sang ibu tidak mengalihkan tatapan gadis itu dariku.

"Butuh apa kau, Bocah?" tantangku dengan lantang. Sebenarnya bodoh juga berbuat begitu, sebab ia pun tidak dapat mende—

"Ah, benar. Kau bisa bicara."

Lalu warung menjadi hening. Api di kepala perlahan berubah warna menjadi pucat pula berubah menajdi kecil. Entah keberanian yang perlahan menciut atau memang batang lilin ini penuh bimbang. Aku tidak tahu alasannya yang mana. Ibu warung saja yang masih membalas tatapan sang gadis dengan sabar. Sedangkan aku sudah terlihat kecil saat ini.

"Neng Aca mau beli apa? Katanya ibu ga bisa datang ya?" Begitu tanya Ibu Warung dengan ramah.

Teralihkan oleh pertanyaan tersebut, sang gadis kemudian menyerahkan list belanjaan kepada Ibu Warung. Dalam sekejap saja semua sudah masuk dalam plastik dan uang sudah ditukar.

Sebelum melangkah keluar, baik sang gadis dan mataku saling menatap.

Mungkin gadis itu juga mempertanyakan keanehan ini. Namun, ada satu yang mengganggu pikiranku selama ini.

Dasar alien yang aneh.

Lilin pembasmi lalat, Februari 19

✧ ✧ ✧

Tema cerita: Tokoh hari ke-3 bertemu dengan tokoh hari ke-15

Tema cerita: Tokoh hari ke-3 bertemu dengan tokoh hari ke-15

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
To the Edge of the Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang