Bab 1

30 5 0
                                    


Untuk kesekian kali, kubaca email dari 'academic advisor' yang kuterima pada akhir pekan lalu. Isi surat elektronik itu berisi saran agar aku menemui salah seorang profesor di kampus, hari Senin ini.

[Prof. Goodenough mendapat serangan jantung. Mungkin perlu waktu yang cukup lama untuk pemulihan kesehatan beliau. Maka saya menyarankan anda segera mengganti pembimbing penelitian untuk kelancaran kuliah anda]. Begitu isi salah satu alinea di surat elektronik tersebut. Tertulis juga nama salah seorang profesor sebagai referensi.

Membaca nama orang yang diusulkan sebagai calon pembimbing risetku yang baru, hatiku berdebar keras. Bahkan walau telah membaca nama itu berulang kali.

Aku mengenal lelaki pemilik nama itu di periode kenaifanku sebagai perempuan. Di masa-masa hatiku begitu mudah luluh hanya dengan tatapan. Kala sebuah senyuman saat berpapasan, sudah mampu melambungkan khayalan hingga aku nyalang bermalam-malam.

Laci-laci di otakku bisa dengan mudah mengeluarkan memori nuansa yang dibawanya saat aku mendengar tawa lelaki yang berasal dari kota berlansekap pegunungan dan padang rumput yang membentang hingga kaki langit itu. Begitu ringan bagai angin sejuk yang berhembus diantara batang-batang ilalang.
Bahkan aku masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana setiap kali aku terhinotis oleh tatapan membius dari sepasang mata setenang permukaan danau miliknya.

Maka beginilah keadaanku pagi ini. Berjalan tertegun-tegun sepanjang University Boulevard menuju Engineering Education and Research Center. Otakku sibuk merangkai kalimat-kalimat yang akan kuucapkan kala bertemu profesor muda itu. Sekaligus mereka-reka reaksinya ketika melihatku berdiri di hadapannya.

Aku mengetuk salah satu pintu -dari sederet pintu kantor para profesor- yang sebetulnya telah terbuka. Di ambang pintu, aku langsung bisa melihat seorang lelaki berpostur tinggi agak kurus sedang berbicara pada salah satu pegawai perempuan. Orang itu berdiri membelakangi pintu.

"Selamat pagi," sapaku dengan sopan. Lelaki yang sedang berbicara itu memutar tubuh. Seketika dia tersenyum lebar.

Terjadi gempa. Di dadaku.

"Silakan masuk." Suaranya seringan bulu angsa. Merasa disambut dengan baik, semangatku pun naik. Langkahku mantap memasuki kantornya.

Dua orang sekretaris memandangiku dengan ingin tahu.

"Silakan duduk." Lelaki itu menunjuk ke sofa. Tentu saja aku patuh.

"Rhea?"

"Betul, Prof." Aku mengangguk takzim.

"Kau sendirian?" Dia memandang ke pintu seolah mencari tamu lain. "Kemana Mimas, Encheladus, Thetys, dan lain-lain?"

Aku tertawa kecil. "Mereka masih berotasi pada Saturnus, Prof."

Namaku memang menyerupai salah satu dari 62 satelit Saturnus. Hal ini baru kuketahui saat SMA.

Kemudian, dia duduk di hadapanku.
"Jadi, kau dilimpahkan padaku oleh advisory. Hm, apa yang sedang kau kerjakan?"

"Saya sedang mengembangkan suatu tool untuk memperkirakan tingkat emisi gas metan pada upstream sumur migas."

"Hm ... novelty-nya?"

"Saya menggunakan temporal skala yang lebih kecil dan resolusi spasial, Prof."

"Menarik," Dia menarik napas dalam dan membuangnya pelan-pelan, seolah memberinya jeda untuk berpikir. "Jujur, aku belum membaca proposal maupun laporanmu. Aku baru mendapat email itu hari Sabtu pagi. Tetapi aku tidak bekerja di akhir pekan."

Aku mengangguk.

"'Jadwalku, Pat?" Dia menoleh pada salah satu sekretarisnya. Yang sejak tadi  terang-terangan terus memandangi kami. Pat segera membuka agenda di hadapannya.

"Jum'at jam lima, kosong," ucap Pat. Nyengir.

"Wah, kau tidak memberiku waktu untuk berkencan?" Dia membelalak.

"Nah, berkencanlah dengan mahasiswa bimbinganmu, Prof,” jawab Pat, acuh.

"Oke." Dia bangun dari duduknya. Otomatis aku pun ikut berdiri. "Jum’at jam lima kau datang lagi ke sini. Bawa segala macam laporan, chart, catatan, apapun hasil risetmu itu. Kita akan membahasnya."

"Saya membawanya sekarang..." Buru-buru kuraih ranselku.

"Hari Jumat, jam lima!"

Maka segera kuhentikan gerakanku untuk mengeluarkan setumpuk dokumen dari dalam ranselku.

"Baik, Prof." Kembali aku mengangguk takzim.

"Oya, satu lagi. Batalkan janji kencan Jumat malammu!" Perintahnya tegas. Namun ada senyum di matanya. "Aku tidak ingin diganggu telepon 'kau sudah sampai di mana' saat kita tengah serius berdiskusi. Paham?"

"Paham, Prof." Lagi-lagi aku cuma mengangguk.

Tiba-tiba dia bersuara agak keras.
"Pat, Tris, kalian pernah melihat komodo?"

Kedua perempuan itu menatapnya dengan bingung.

"Cuma dari gambar-gambar, Prof," jawab Pat.

"Nah, kau bertanyalah pada Rhea, seperti apa komodo itu."

Pat mengalihkan tatapannya padaku. Tris tetap menunduk acuh. Sibuk bekerja pada kertas-kertasnya di hadapannya. Aku gelagapan.

"Saya belum pernah melihat komodo secara langsung, Prof." Aku mengaku. Aku memang belum pernah melakukan perjalanan ke Indonesia Timur sana.

"Tenang, Rhea, aku juga belum pernah melihat aligator secara langsung." Tris berkata tapi matanya tetap menunduk. Tangannya masih sibuk menulis dan menyusun tumpukan dokumen di hadapannya.

"Aliasi para perempuan." Lelaki itu tertawa lunak mendengar Tris membelaku. "Nah, kau sudah boleh pergi sekarang."

"Datang lagi hari Jum'at jam lima," Pat menambahkan.

"Hanya jika dia mau, Pat. Mungkin dia bisa mendapatkan supervisor lain sebelum Jumat."
Dia tersenyum. Manis sekali. Sekaligus berbisa, buatku. Tiba-tiba aku sudah terpikat lagi.

"Saya akan datang Jum'at pukul lima sore, Prof." Aku berkata dengan tegas.

"Catat, Pat! Sekarang aku sudah punya janji kencan untuk hari Jum'at sore."

Pat memutar matanya.

Dia lalu merentangkan tangannya. Kukira mengajakku berjabat tangan, ternyata dia memberi isyarat agar aku keluar dari ruangannya.

"Sampai Jumat pukul lima, Prof. Selamat pagi, Miss Pat, Miss Tris." Aku sedikit membungkukan tubuhku saat pamit. Lalu meninggalkan ruangan kerjanya.

"Kau tahu, Pat, gadis Jawa memang sesopan itu." Sempat kudengar kalimatnya sebelum aku benar-benar terhalang tembok deretan ruangan kerja para dosen.

#fiksi_schatzi

The Way You Look at MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang