Bab 12

17 2 0
                                    

Aku jatuh cinta lagi pada Allen. Perasaan itu membawa konsekuensi datangnya realitas pahit. Aku terombang-ambing antara kata hati dan logika. Inginku memasabodohkan tembok kokoh bernama perbedaan agama itu, atas nama cinta. Namun, aku pun tak ingin abai pada satu-satunya permintaan Ibu. Permintaan yang sekaligus menjadi syarat mutlak tak tergoyahkan bagi calon menantunya: Lelaki itu  harus beragama Islam. Titik.

Nyaliku terlalu kecil untuk berterus terang pada Allen mengenai hal itu, walau setiap hari -bahkan tidak jarang sehari dua kali- kami melakukan panggilan video. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi bayang-bayang perpisahan.

Dia cinta pertamaku. Dia kekasih pertamaku. Maka sosok Allen selalu selalu menjadi tolok ukur lelaki yang   mendekatiku setelah putus hubungan kami dulu.

Belajar dari pengalaman bahwa hubungan jarak jauh pernah tidak berhasil pada kami, maka sejak pulang dari Inggris, aku mulai berupaya untuk mencari beasiswa S3 ke Amerika.

Sebetulnya aku memiliki kesempatan untuk mengajukan lagi permohonan beasiswa ke yayasan milik perusahaan tempatku bekerja, namun karena ada keharusan untuk pulang ke tanah air dan membayar kompensasi beasiswa dengan bekerja di perusahaan tersebut, maka aku menghapus kemungkinan itu.

Dengan penuh semangat, aku mengirim aplikasi mendaftar sebagai mahasiswa pada program doktoral penelitian ke berbagai universitas di kota-kota dekat tempat tinggal Allen. Sambil mendaftar beasiswa. Beruntung, aku lulus program beasiswa sebuah lembaga nirlaba khusus wanita yang bergerak di bidang Sains dan Teknologi. Di saat yang hampir bersamaan, aku diterima sebagai mahasiswa di fakultas tempat Allen bekerja.

Sebulan sebelum perkuliahan dimulai, aku memberitahu Allen bahwa aku akan segera tiba di kotanya. Dia menyambut kabar itu dengan gembira, mengira kedatanganku hanyalah untuk berlibur. Tapi kemudian, aku membawa 6 koper besar.

"Apakah kamu akan pindah ke sini?" tanya Allen sambil tertawa. Dia mengangkat koper-koper itu ke dalam mobilnya

"Ya, setidaknya untuk tiga hingga empat tahun ke depan. Kecuali ada perubahan," jawabku.

"Oh, benarkah? Bagaimana dengan visa-mu?" tanya Allen sambil mengemudi keluar dari bandara.

"Visa tinggalku berlaku untuk 5 tahun."

"Koq, kamu bisa dapat visa untuk durasi sepanjang itu? Sebetulnya, kau mendapat pekerjaan di sini atau apa?"

"Hm .., aku diterima sebagai mahasiswa doktoral di kampusmu. Di Teknik Kimia departemen Advanced Material."

Dia terdiam. Berusaha menyerap informasi yang baru kukatakan.

"Siapa Advisormu? Co-advisormu?" Tanyanya dengan nada tidak yakin.

Aku meraih tas, menarik keluar amplop berisi dokumen penerimaan sebagian mahasiswa.

"Advisorku, Prof John Goodenough. Co-advisorku Dr. Adebowale Manshoor."

Allen kembali terdiam cukup lama..

"Kenapa kau tidak pernah cerita soal ini, Rhea?"

"Aku ingin membuat kejutan."

"Kamu berhasil membuatku terkejut. Tapi apakah kamu menyadari dampaknya bagi kita? Terutama bagiku?"

"Kau tidak senang dengan berita ini?"

"Aku memang ingin kita tinggal berdekatan sehingga bisa bertemu setiap saat. Bahkan kita bisa menikah, bila kau menginginkannya Tapi jika kamu menjadi mahasiswaku sementara kita menjalin cinta, itu bisa menjadi preseden buruk. Terutama karena kita berada di satu fakultas. Kalau kita di satu fakultas, bisa muncul konflik kepentingan. Bahkan bisa ada risiko tudingan aku melakukan pelecehan, atau memanfaatkan superioritasku pada mahasiswa, jika ada yang melihat kita berciuman atau berpelukan. Beda halnya jika aku adalah dosen di Teknik Kimia dan kamu mahasiswa di Fakultas Seni, misalnya."

"Oh, aku tak berpikir tentang kemungkinan ada risiko itu. Di Amerika bukankah orang biasa berpelukan dan berciuman sesuka hati?"

"Kamu terlalu dipengaruhi oleh film. Etika antara dosen dan mahasiswa tetap harus dihormati"

Ooh....

"Tetapi jika kita menikah, hal seperti itu tidak perlu kita khawatirkan." tambah Allen.

Aku terdiam. Penjelasannya membuka mataku pada aspek yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.

"Kau tentu diharuskan menyewa asrama kan?" Tanyanya lagi.

"Iya. Di Moore Hill"

"Baiklah. Nanti aku akan mengantarmu ke Moore Hill dan membantumu membawa koper-koper masuk ke kamar. Tapi aku tak bisa berlama-lama di sana. Walaupun akhir pekan, aku tetap seorang profesor di kampus ini. Ada batasan yang tak bisa dilanggar, Rhea. Semoga kamu mengerti."

Hari pertamaku di Amerika tidak seperti yang kubayangkan. Respon Allen sangat tak terduga.

Walau beberapa hari kemudian dia membawaku menemui orang tua dan keluarga besarnya, serta mengumumkan bahwa kami telah bertunangan. Keluarga besarnya menyambutku dengan tangan terbuka tanpa banyak bertanya.

Sayangnya, dia membatasi berdekatan denganku di depan umum. Terutama di lingkungan kampus.

Itulah pangkal benang kusut kisah cintaku ini. Kupikir, sudah saatnya aku menguraikan satu persatu. Jika harus menghadapi deadlock, terpaksa harus diputuskan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Way You Look at MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang