Nazori dan Sadeli datang ke asramaku tepat pukul delapan. Padahal saat itu aku masih sibuk mencuci di laundry room di rubanah. Konsekuensinya mereka harus menungguku di ruang tamu karena mereka datang terlalu cepat.
Sudah setahun lebih tidak ada lelaki yang mencariku ke asrama, maka seketika aku menjadi bahan olok-olok beberapa gadis tetangga kamar yang masuk ke ruang laundry. Bahkan mereka sok-sokan meramalkan masa jomloku akan segera berakhir.
Nyaris jam setengah sembilan, seluruh cucianku kelar dikeringkan. Kemudian aku pun bergegas mandi. Setelahnya, kupilih kaus dan rok apapun yang berada di bagian paling atas di laci pakaianku.
Aku sedang mengoles pelembab wajah ketika Briana mengirimkan pesan WhatsApp yang mengabarkan bahwa dia telah tiba di The White Horse.
[Kutunggu di depan, ya. Cepetan!]
[Ok. Kami meluncur]
Khawatir temanku akan diganggu lelaki iseng, aku menyambar peralatan make-up-ku lalu memasukkan ke dalam tas tangan. Dengan setengah berlari kutemui Nazori dan Sadeli yang sedang mengobrol dengan beberapa teman lelaki penghuni asrama.
"Yuk! Briana sudah sampai di sana."
Sadeli berjalan lebih dulu ke mobil. Kugerakkan bahu menepis tangan Nazori yang berusaha merangkulku. Saat kulihat Sadeli duduk di kursi kemudi, aku buru-buru memilih kursi penumpang di sebelahnya sehingga mau tidak mau Nazori duduk sendirian di bangku belakang.
"Aku ngga sempat dandan tadi. Kalau aku dandan di mobilmu ngga apa-apa kan?" Kataku sambil membuka kotak bedakku. Kulihat Sadeli saling bertukar pandang dengan Nazori lewat kaca spion.
***
Bar The White Horse seramai biasanya di setiap Jumat malam. Billboard yang berpendar di halaman mengiklankan malam itu yang akan dimeriahkan pemusik country Jesse DanielKami parkir tepat di samping Briana yang duduk di atas kap mobilnya sambil merokok. Wajahnya jengkel. Kami terlambat nyaris dua puluh menit.
"Macet, Bri..." kukecup pipi sahabatku itu untuk memohon maaf. Lalu kami beriringan ke pintu masuk.
"Ternyata malam ini entrance fee-nya limabelas dollar. Bayar masing-masing, ya," kata Bri sambil menadahkan telapak tangannya ke kami. Kuserahkan selembar dua puluh dolar.
"Ngga usah, Rhe!" Nazori mengambil uangku dari tangan Bri, lalu diberikan kembali kepadaku. Kemudian, diambilnya selembar uang dari dompetnya. "Pesankan first drink sekalian, Bri. Aku dan Sadeli, bir dingin. Kamu, Rhe?" katanya sambil menyerahkan uang seratus dolar ke Briana.
"Baileys." jawabku. "Tapi aku ngga mau ditraktir, ah." Kuselipkan uang dua puluh dolarku ke saku t-shirt Nazori. "Uang minuman nanti kubayar, setelah kita di dalam, ya."
"Kalau aku, sih, ngga keberatan ditraktir." Kata Briana sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. "Okey ... dua bir dingin, satu baileys, buat aku rum and coke."
Sahabatku itu menarik tangan Sadeli agar ikut mengantri dengannya di loket. Tidak sampai sepuluh menit, mereka kembali dengan membawa tiket dan bukti pemesanan minuman.
"Yuk, masuk." Bri menarik tanganku. Nazori dan Sadeli mengikuti. Pemeriksa tiket hanya dua petugas, sementara pengantri belasan orang, membuat kami berdiri berdesakan.
Di dalam bar, pengunjung sudah sangat ramai. Semua kursi telah terisi. Ruangan agak berkabut oleh asap rokok. Musik country bergema dari atas panggung. Lampu-lampu berwarna-warni berkedip bergantian menyesuaikan irama hentakan drum. Beberapa orang berdansa two step berpasangan. Semua keramaian itu ditambah dengan riuh gelak tawa dan dengungan orang mengobrol dari berbagai sudut bar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way You Look at Me
RomanceIn this short fiction tale, a university student finds themselves at a crossroads when their research advisor suffers a heart attack. Advised to seek a new mentor for the smooth continuation of their studies, the student is taken aback by the propos...