Allen lebih dulu keluar dari mobil, lalu membuka kunci pintu rumah dan menyalakan lampu-lampu.
"Kenapa malah membawaku ke rumahmu malam-malam begini, sih, Al?" omelku pelan. Suasana sekitar komplek sudah lengang.
"Jarak dari The White Horse ke asramamu lebih jauh dibandingkan ke sini. Padahal di pertengahan jalan tadi, aku menyadari bahwa aku mulai mabuk. Jadi akan lebih aman jika aku membawamu kemari."
Memang sekarang kulihat wajahnya memerah. Tubuhnya pun sesekali oleng saat berjalan.
"Kira-kira berapa lama lagi pengantar makanan itu sampai?" Tanyanya sambil berjalan ke kulkas. Dia mengambil dua kaleng susu almond dan meminumnya hingga habis.
"Sekitar dua puluh lima menit lagi," jawabku setelah melihat ke aplikasi Uber Eats.
"Kalau begitu, aku masih sempat mandi dulu." Katanya sambil melempar kaleng-kaleng susu ke dalam keranjang sampah. "Oh iya, kalau mau mandi, kamu bisa memakai kamar mandi di situ. " Dia menunjuk sebuah pintu yang tertutup di samping tangga. "Kau mau memakai kausku? Nanti kuambilkan."
Sedikit terhuyung, Allen menaiki tangga dan masuk ke kamarnya di lantai atas. Sementara aku hanya berdiri terpaku di ruang tengah. Sepertinya dia lupa mempersilakan aku untuk duduk.
Aku berdiri sendirian di tengah-tengah ruang duduk. Merasa serba salah. Terdengar suara gemercik air dari lantai atas.
Sekedar iseng mengisi luang, aku bergerak ke arah lemari buku sang Tuan Rumah. Membaca judul-judulnya. Kemudian pandanganku menyapu seisi ruangan. Mencoba meneliti apa yang berkurang atau bertambah dari sejak terakhir kali aku datang ke rumah ini.
Tak ada.
"Kau bertingkah seperti tamu." Kata Allen sambil menuruni tangga dengan perlahan. Lalu diserahkannya sehelai kaus, celana pendek usang, bersama sehelai handuk bersih. "Kau bisa mencari sabun, sampo, dan sikat gigi baru di lemari dapur."
"Kalau kau pusing, tak usah banyak bergerak, Al."
Kulihat dia berkali-kali mengernyitkan dahinya.
"Okey... Bisa tolong ambilkan minuman isotonik di kulkas? Aku harus banyak minum untuk menetralisir alkohol."
Kubuka kulkas dan mendapati isi lemari pendingin itu penuh dengan berbagai bahan makanan dan minuman. Kutahan keinginan tahuku untuk bertanya siapa yang telah membelanjakan barang itu semua. Yang kutahu, Allen, seperti umumnya lelaki lain, tidak pernah berbelanja sesuatu untuk disimpan lebih dari dua hari. Kuambil sebotol Pocari Sweat lalu kuberikan kepadanya. Dia menggumamkan terima kasih sambil menaiki lagi tangga ke kamarnya.
Aku mandi dan keramas untuk menghilangkan bau asap rokok dari tubuh dan rambutku. Selesai mandi, kukenakan kaus dan celana bermuda yang tadi diberikan Allen.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Allen tengah memindahkan makanan ke piring-piring dari kotak pembungkusnya. Wajahnya sudah lebih segar daripada sebelum mandi.
"Ini punyamu."
Dia memberikan salah satu piring berisi paella kepadaku. Sesaat kemudian tatapannya terpaku. Lalu dia buru-buru mengalihkan wajahnya ke piring lainnya. Aku duduk di kursi meja dapur. Di hadapan Allen. Kemudian mulai menyuap paella yang masih berasap itu pelan-pelan.
"Kau tidur di kamarku. Aku yang tidur di sofa."
Aku mengangguk. Allen makan dengan menunduk. Seolah menghindar melihatku.
Baru beberapa suapan nasi campur Spanyol itu kunikmati, tiba-tiba Allen membanting sendok dan garpunya keras-keras ke atas meja dapur.
"Sialan, kau, Rhea! Kenapa kau tidak memakai bra!" Bentaknya keras. Dia tiba-tiba berdiri dari kursinya.
Jelas saja aku terkejut.
"Yang kupakai tadi kumasukkan ke mesin cuci. Bajuku juga." Kutunjuk mesin cuci yang sedang menggiling pakaian di sudut dapur.
"Kau memprovokasiku!" Dia mengacungkan jarinya ke wajahku. Tampak sangat marah. "Kalau tidak mempertimbangkan saat ini tengah malam, aku akan menyuruhmu pulang."
Aku tersinggung karena merasa diusir.
"Baiklah! Mudah saja. Akan kupesan Uber."
Aku mengenal Allen sejak kami sama-sama di undergraduate dulu. Hubungan kami berubah-ubah sepanjang belasan tahun itu dari cuma sebagai teman, sahabat, sepasang kekasih, lalu berteman lagi, dan kembali berpacaran on/off. Selama ini, aku belum pernah melihatnya tak bisa mengontrol emosi.
Dengan menghentak kursi, aku bangun dari dudukku. Kuambil dompet dari atas meja di depan sofa, lalu kukeluarkan ponsel. Dengan cepat jariku mencari aplikasi Uber.
Aku kaget saat Allen mendadak merampas ponselku dari balik punggungku.
"Aku tak sudi kau berkeliaran tengah malam dengan orang asing!"
Detik itu juga terhirup aroma parfumnya yang setiap kali membuatku berdebar.
Aku memutarkan tubuhku hingga menghadapnya. Tanpa bisa kucegah, tiba-tiba saja aku maju menciumnya.
Dia membalas ciumanku.
"Aku merindukanmu, Al ..." Kataku jujur di sela-sela mengulum bibirnya.
Sejak tiga semester lalu, ketika dia memutuskan hubungan kami karena aku menolak lamarannya, sesungguhnya aku tidak pernah berhenti mencintainya. Setiap kali kami berpapasan atau aku melihat sosoknya dari kejauhan, aku ingin menangis. Aku juga tidak bisa untuk tidak cemburu setiap kali melihatnya berbicara akrab dan tertawa dengan perempuan lain.
Sekarang, saat cuma kami berdua di kesunyian rumah ini, aku lepas kendali. Kupeluk tubuhnya untuk membayar kerinduanku pelan-pelan."Oh, Rhe, kau pikir aku tidak merindukanmu? Selalu, Sayang." Bisiknya saat mengecupi leherku.
Aku melayang. Logikaku berkabut. Harga diri, kesantunan, dan kepatutan sebagai seorang perempuan menabrak-nabrak hasratku. Aku tercabik antara ingin menuntaskan rindu, namun alarm bernama batas kepantasan, berdering di otakku.
"Kalau kau menginginkan aku berhenti, katakan sekarang, Rhea!" Allen berkata dengan nada suara memelas di antara ciumannya. Tangannya mulai mengelus-elus punggungku.
"Yah. Berhentilah, Al." Kudorong tubuhnya, dan aku mundur selangkah. "Jika kita melakukan yang lebih jauh lagi, aku tidak yakin akan sekuat sebelumnya menahan diriku untuk cuma memandangmu dari kejauhan."
Allen pun mundur selangkah. Nafasnya tersengal saat menatap ke dalam mataku.
"Naik ke atas!" Perintahnya tiba-tiba.
Bergegas, dia membuka lemari di bawah tangga, mengeluarkan selimut dan bantal cadangan, lalu melempar benda-benda itu ke atas sofa.
Aku menaiki tangga menuju kamar Allen, dengan menahan tangis. Setiap sel-sel di tubuhku menginginkan ciuman dan pelukannya. Tapi naluri melindungiku agar berhenti menyakiti hatiku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way You Look at Me
RomanceIn this short fiction tale, a university student finds themselves at a crossroads when their research advisor suffers a heart attack. Advised to seek a new mentor for the smooth continuation of their studies, the student is taken aback by the propos...