Bab 4

9 3 0
                                    

Begitu melihatku melangkah masuk ke Lab 703, Briana tersenyum lebar. Dia segera mendekatiku.

"Materi presentasimu sudah kelar kan? Kamu juga sudah belasan kali menguji algoritma tool risetmu itu kan?" tanyanya diantara dengung suara para mahasiswa lain yang sedang praktikum.

Aku mengangguk. Kami melangkah ke meja sudut yang masih kosong.

"Bagus! Jadi sudah tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

"Mengkhawatir apa?"

Kutaruh tas laptop dan sebundel dokumen ke atas meja di sudut favoritku. Briana segera meluncur ke mejanya, meraup setumpuk buku dan mengangkut tasnya. Kemudian dia meluncur kembali ke meja di sebelahku.

"Mantap! Pertahankan rasa percaya dirimu itu," kata Briana sambil mengacungkan jempolnya. "Karena aku yakin kau sudah siap tempur, maka jam dua belas nanti aku sudah membuatkan janji untuk kita."

Aku mengangkat alis.

" Janjian dengan Cris-nya Dolce Salon."

"Ke salon? Ngapain?"

Aku tidak ingat kami mempunyai rencana menghadiri pesta mana pun hari ini.

Briana membelalak. "Jam lima nanti kau mau presentasi di depan Prof. Allen, bukan? Sedangkan aku akan menemanimu. Masa sih kau lupa acara sepenting itu?"

"Iya. Tapi mengapa kita hrus ke salon dulu?"

"Sebab kau perlu merapikan rambutmu. Lihat, ponimu sudah melewati mata. Aku risih melihat tiap 5 detik kau harus menyibaknya. Lihat jari-jarimu! Kuku-kukumu!"

"Ngga ada masalah, koq. Semuanya sudah kupotong pendek."

"Tetapi tidak cantik. Kau tampak kurang terawat, Sayang."

"Sialan!"

"Nah! Setidaknya kita harus, wajib, mesti, kudu, tidak terlihat buluk di mata profesor tampan itu, sore nanti. Paham?" Briana tampak jengkel padaku. Seolah aku adalah temannya yang paling jorok.

"Profesor itu sudah berkali-kali melihatku seperti ini, Bri. Sepekan ini kami bertemu setiap hari. Barusan juga kami bertemu dan mengobrol."

Tiba-tiba Briana meninju bahuku. Aku jadi sedikit terhuyung.

"Curang! Tukang curi start! Bisa-bisanya bertemu dia tanpa mengajakku."

Aku menggeleng lemah. "Dia menolak mensupervisiku, Bri ...."

"What!" Briana seperti tiba-tiba tersengat listrik. Suaranya naik setengah oktaf. "Alasannya?"

Aku memberi isyarat agar sohibku itu menurunkan volume suaranya. Walau tidak ada kewajiban berbicara pelan-pelan di Lab, setidaknya aku tidak ingin sepuluh mahasiswa lainnya yang sedang berada di ruangan ini mengetahui masalahku.

"Secara resmi, dia beralasan karena kuota mahasiswa bimbingannya semester ini sudah penuh. Secara tidak resmi, dia bilang, tidak mau sering-sering bertemu denganku."

Kini Briana melihat padaku dengan mimik kasihan. "Kau berkali-kali mengecewakannya, sih ...."

"Bukan tanpa alasan fundamental kan, Bri ..." Aku membela diri.

Briana terdiam. Semangatnya menguap. Aku tak tega melihatnya begitu.

"Eh, Bri, walau ngga jadi bertemu 'Bapak itu', kita tetap bisa pergi ke Dolce, koq."

Yah, paling tidak aku harus menyemangati diri sendiri. Aku bisa memikirkan masalah supervisor pengganti Prof. Goodenough di hari Senin saja.

"Nanti malam kita bisa ke The White Hourse atau Broken Spoke, yuk!" Ajakku. Kedua tempat itu adalah bar kecil dimana kami biasa hangout mendengarkan live music atau menonton stand-up comedy oleh para komika lokal.

The Way You Look at MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang