Perasaanku teraduk-aduk. Entah mana yang lebih dominan. Aku malu karena sebagai perempuan justru aku yang memulai ciuman tadi. Merasa bodoh karena tidak mampu mengontrol hasrat diri. Sekaligus sedih karena takdir perbedaan yang kami bawa sejak lahir, menghalangi cinta kami.
Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur Allen. Berharap bisa meredam roller coaster perasaan. Tetapi aroma tubuh Allen yang tertinggal di bantal dan sprei malah membuat diriku makin tersiksa karena hasratku untuk memeluknya semakin tak tertahankan.
Merasakan sakit akibat rindu yang demikian menyiksa, tangisku pun meledak.
Aku benar-benar tak berdaya. Lelaki yang kucintai berada begitu dekat, namun sekaligus begitu jauh untuk kurengkuh.
"Sst... Sayangku. Maafkan aku, ya, maafkan aku."
Aku begitu tenggelam dalam tangisan hingga tak menyadari Allen telah masuk ke kamar dan memelukku.
"Mungkin sebaiknya aku menghentikan kuliahku dan segera pulang saja, Al. Biarlah kuliahku gagal daripada serba salah seperti ini."
Setiap hari aku berharap bertemu dengannya. Bisa menyentuhnya secara sembunyi-sembunyi. Atau bisa melihatnya melempar senyum ketika kami berpapasan di sudut lorong kelas.
Namun, setiap hari aku patah hati saat menyadari dia berusaha menghindar. Bahkan mengabaikan keberadaanku jika kami berada satu ruangan bersama dosen dan mahasiswa lain. Demi alasan etika diantara mahasiswa dengan dosen.
"Aku tidak akan sanggup melihatmu berkorban sebanyak itu, Sayang. Aku juga tidak sanggup jika seumur hidupku tidak bersamamu." Allen mengelus rambutku. Lalu dia memegang daguku. "Aku mencintaimu, Rhea," bisiknya serak.
Dia mengecup kedua mataku, lalu pipiku. Seolah ingin mengapus air mata yang menganak sungai. Allen menciumku perlahan. Mataku terpejam menikmati setiap milimeter jejak bibirnya di bibirku. Perlahan, hasratku terangkat.
"Al, aku milikmu, jika kau menginginkanku"
"Sangat, Rhea. Tetapi ...."
"Tetapi, kenapa?"
Kurasa dia sedang berusaha sedapat mungkin menahan diri untuk tidak lepas kendali.
"Apakah kau yakin kita akan melakukannya?"
"Kau tidak?"
"Jika menghamilimu bisa membuat ibumu merestui kita menikah, aku akan melakukannya. Tetapi jika malah membuatmu kian jauh dari jangkauanku, berapapun besarku hasratku, aku bisa menahannya."
Sejenak aku terpana. Lalu sebuah perasaan kembali menggulungku.
"Brengsek, kau! Mestinya kau jangan memelukku. Mestinya kau jangan menciumku! Kau cuma ingin menguji aku kan?" Bentakku. "Keluar dari kamar ini! Atau aku pulang sekarang!"
Kutahan sekuat tenaga untuk tidak melemparnya dengan barang-barang yang bisa kujangkau. Sesungguhnya aku bukan marah. Melainkan malu karena telah berani menawarkan hal paling penting dalam eksistensiku sebagai perempuan, namun ditolaknya.
Aku sulit tidur malam itu. Tak bisa kuceritakan seperti apa perasaan berkecamuk di dadaku. Satu-satunya cara melepaskannya hanya dengan menangis hingga aku tertidur.
***
Aku terbangun karena mendengar suara tertawa dan orang-orang bercakap-cakap di lantai bawah. Sejenak aku bingung dengan keberadaanku.Pelan-pelan benakku mengingat kejadian semalam.
Suara obrolan makin terdengar ramai dari bawah. Dari suara yang bersahut-sahutan sepertinya lebih dari dua orang yang bercakap-cakap.
Aku meraih jam tangan yang kutaruh di atas nakas, dan terkejut karena angka yang ditunjukan adalah 10.17. Aku berharap jam itu kecepatan, karena kamar masih dalam keadaan remang-remang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way You Look at Me
RomanceIn this short fiction tale, a university student finds themselves at a crossroads when their research advisor suffers a heart attack. Advised to seek a new mentor for the smooth continuation of their studies, the student is taken aback by the propos...