^-^*^-^
Pertemuan pertama Arabelle dengan Zander tidak dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa yang baik. Saat itu Arabelle berumur sekitar sebelas tahun dan sedang mencari anak dombanya yang menghilang dari padang. Arabelle ketakutan setengah mati membayangkan hukuman yang akan diberikan Hecate bila mengetahui hal ini. Maka dari itu, dengan nekat Arabelle masuk ke dalam hutan. Hutan yang berbatasan dengan padang tempat ia menggembalakan para ternak, untuk mencari anak domba tersebut.
Flashback.
Arabelle berjalan tanpa tahu arah. Melangkah mengikuti kemana kakinya membawa. Sementara itu, iris ambernya memindai dengan cermat, berusaha menemukan sang anak domba. Makin ia masuk ke dalam hutan, cahaya matahari menjadi lebih redup, tertutup oleh pepohonan yang tinggi menjulang. Sunyi dan temaram, menjadi dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hutan.
Menit demi menit terus berlalu. Semburat jingga menguasai langit dan matahari nyaris tiba di peraduan. Sementara itu, Arabelle masih tidak juga menemukan anak dombanya yang hilang.
"Hikss... Hiks..." Isak tangis yang sejak tadi Arabelle tahan, akhirnya lepas. Setetes demi setetes dan kian konsisten hingga membasahi seluruh wajah.
Arabelle tidak tahu mana yang lebih buruk. Fakta bahwa ia tidak mengetahui arah pulang dari hutan mengerikan ini atau bayangan kemurkaaan Hecate bila mengetahui kelalaiannya.
"Mommy..." Arabelle meracau. "Ara tidak tahu jalan pulang. Hutannya sangat menyeramkan." Gadis itu bermonolog.
Pepohonan tinggi menjulang, suara-suara malam yang berdengung, serta kegelapan pekat, semua seolah bekerja sama untuk mengintimidasi Arabelle kecil.
"Hiks... Hiks... Aku harus bagaimana?" Entah pada siapa Arabelle bertanya. Yang jelas tidak ada yang menjawab pertanyaannya itu.
Lalu di tengah-tengah kepanikan dan kekalutan Arabelle, sebuah suara mengerikan bergaung.
"AUUUUUUU..."
Itu lolongan. Lolongan hewan buas.
"AUUUUUU..."
Lagi-lagi lolongan yang sama terdengar. Meyakinkan Arabelle bahwa pendengarannya tidak keliru.
"Mommy," Sang Gadis sontak bergumam memanggil ibunya dengan suara bergetar.
Lolongan itu terdengar dekat. Benar-benar dekat hingga Arabelle yakin, apapun yang melolong di sana pasti berada di sekitarnya.
"Mommy, Arabelle takut."
Tubuh Arabelle mematung di tempat. Iris ambernya memindai sekeliling dengan binar khawatir. Berharap-harap cemas akan apa yang dapat keluar dari rimbunnya hutan.
"Aku... Aku harus segera keluar dari sini," monolog Arabelle lagi pada diri sendiri.
Lalu gadis itu kembali melangkah. Bergerak mengikuti naluri, berharap kakinya akan menuntunnya menjauh dari hewan buas di sini.
Namun sayang seribu kali sayang, kesialan kembali menimpa Arabelle. Bukan menjauh, sepasang kakinya malah membawa Arabelle mendekat pada sosok makhluk yang kemungkinan menjadi sumber lolongan sebelumnya.
Itu serigala. Seekor serigala berbulu cokelat yang meski tidak terlalu besar, namun jelas melebihi tubuh Arabelle.
Lari Ara! Lari! peringatan itu memenuhi pikirannya.
Memang benar! Arabelle harus melarikan diri jika tidak ingin menjadi menu makan malam dari serigala tersebut.
Akan tetapi sebelum kaki Arabelle berhasil melangkah, iris ambernya malah bersinggungan dengan manik cokelat milik Sang Serigala.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Eyes
VampirosMeski begitu menyukai kisah Cinderella, Arabelle tidak pernah berharap akan menjalani kehidupan seperti Sang Putri. Kematian mendadak ibunya, lalu kehadiran wanita lain yang dibawa ayahnya untuk menggantikan Sang Ibu sebagai nyonya rumah. Posisi seb...