-----Awal ataukah akhir?-----
Kebakaran itu berlangsung hampir empat jam. Belasan mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menanggulanginya. Bergalon-galon air disemprotkan ke titik-titik api. Proses yang melelahkan bagi para petugasnya. Ditambah ratusan penduduk yang antusias menonton malah memperlambat dan membatasi aksi mereka.
“Malam ini sebuah obor raksasa menerangi pusat kota. Dimana bahan bakarnya adalah sebuah sekolah terkenal di kota kita. Saya, Darla Emmanuel, melaporkan langsung dari tempat kejadian,” kata seorang wanita cantik yang sedang meliput kejadian tersebut bersama krunya.
Darla memperbaiki tata letak rambutnya, sementara kamera menyorot puing-puing sekolah. “Saat ini…” lanjut Darla, “…api telah berhasil dipadamkan. Melanjutkan liputan kami sejam sebelumnya, bisa Anda lihat keadaan sudah mulai teratasi. Kami juga telah menemukan beberapa saksi mata yang akan kita wawancarai khusus untuk para pemirsa semua.”
Seorang anak mendekati Darla. Dia kelihatan gugup sekaligus bersemangat.
Darla menunjukkan mimik terharu, “Saksi pertama kita adalah salah satu dari murid sekolah ini. Silahkan perkenalkan dirimu, Dik.”
Si anak gagap sebentar. Matanya bersinar menatap kamera. Teman-temannya memberi semangat di belakang. “Er… nama… nama saya Ryan Iskandar. Saya murid kelas 3.”
Darla pura-pura menenangkan Ryan, “Pelan-pelan saja, Dik. Kami tahu kalian masih shock. Tolong ceritakan bagaimana musibah kebakaran ini bermula.”
Ryan mengangguk. “Saya anggota klub sepakbola. Sore tadi termasuk jadwal latihan kami. Anak-anak yang lain sudah pulang semua. Lalu kami melihat anak-anak kelas terkutuk berbondong-bondong ke belakang gedung sekolah.”
“Ma’af! Kelas apa katamu tadi?” potong Darla, terkejut dan bergairah.
“Kelas… terkutuk,” jawab Ryan ragu-ragu. Diliriknya teman-temannya, meminta dukungan.
“Kelas macam apa itu?” Darla menodong Ryan.
“Kelas yang mengerikan. Isinya anak-anak aneh semua. Ada kutukan yang mengiringi kelas itu.”
“Kutukan?” Darla mempermainkan nada suaranya. Berusaha membuat penonton semakin penasaran.
“Iya, kutukan!” kata Ryan berapi-api. “Kelas ini sudah ada sejak tahun 2003. Setiap angkatan tidak bertahan lebih dari satu tahun.”
“Wow,” puji Darla, bukan pada Ryan tapi lebih pada dirinya sendiri yang baru saja mendapatkan berita fantastis.
“Makanya saya punya firasat buruk saat melihat anak-anak kelas terkutuk berlarian bergerombol. Nah, beberapa menit kemudian terdengar ledakan yang bersahutan. Kaca-kaca jendela beterbangan ke segala arah dibuatnya. Terang saja kami semua panik melarikan diri. Yang saya ingat, dengan cepat api mulai menjalar dan melahap setiap ruangan. Lalu salah satu teman saya, Kienan, menghubungi polisi.”
Seorang anak berkepala plontos yang berdiri di belakang Ryan melambaikan tangannya. “Saya Kienan,” serunya, tersenyum gugup. Kamera menyorotnya sebentar lalu kembali lagi pada Darla dan Ryan.
“Terima kasih atas keterangannya, Ryan. Pemirsa semua, saksikan wawancara eksklusif saya dengan Ryan Iskandar dan teman-temannya, besok sore di acara Bincang-bincang Bersama Darla dengan tema Kelas Terkutuk.”
Ryan yang mendengarnya, megap-megap. Dirangkulnya teman-temannya. “Kita masuk TV! Kita masuk TV lagi!” katanya kegirangan diiringi sorak-sorai teman-temannya.
“Saya akan melanjutkan dengan saksi kedua.” Darla berlari kecil ke arah mobil pemadam kebakaran, diikuti para krunya. Darla mencegat seorang petugas tinggi besar yang wajah dan seragam merahnya penuh belepotan jelaga hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)
Mystery / ThrillerDua puluh lima anak melangkahkan kakinya di kehidupan SMU dengan harapan yang beragam. Mereka ditempatkan dalam sebuah kelas yang tidak lazim dan mendapatkan guru yang memandang mereka tidak lebih dari sekumpulan kelinci percobaan. Seakan belum cuku...