Diary Hari Ketujuh

8.4K 650 35
                                    

Hari Ketujuh 

Oh Tuhan, ramalan itu terjadi! 

Saat menulis diary ini tanganku masih gemetaran. Jadi ma’af kalau agak sulit dibaca. Duh… kalian ingat kan ramalan Jhan hari Jum’at lalu. Hya… aku bingung gimana musti nyeritainnya nih. 

Siapa sih yang gak kaget sewaktu masuk ke kelas ternyata susunan kursi dan meja sudah berubah? Seluruh meja ditumpuk di belakang kelas dan ke 25 kursi disusun membentuk lingkaran. Pak Richard berdiri di tengah formasi itu. Dan semua anak telah duduk di kursinya masing-masing, terkecuali aku. 

“Seperti biasa, paling terlambat, nomor 4 akhirnya kau datang juga.” Si drakula itu, darimana dia tahu aku selalu paling terakhir masuk kelas? Apa ada di antara kalian yang melapor? Dasar pengadu. 

Kulanjutkan yah, si drakula Richard menyuruh kita memilih kursi sesuai yang kita inginkan. Setelah kita semua duduk dia memerintahkan menghapal urutan siapa duduk dimana dan siapa duduk di sebelah siapa. 

Tiba-tiba lampu dipadamkan, ruangan menjadi gelap total. Ada dua anak yang berteriak, sementara Diana berteriak kaget dan histeris, Cherry malah berteriak genit. Anak itu selalu saja berusaha menarik perhatian orang lain. 

“Diam!” perintah Pak Richard. Ukh, siapa juga yang mau ngobrol dalam gelap. 

“Nomor 16.” 

“Eh…ya…pak…” Ha-ha si Omega kukira bakal dimarahi tapi ternyata Pak Richard malah berkata, “Siapa yang dijepit nomor 2 dan 6?” 

“Mmm…” Omega pasti bingung sekali. Dia menjawab, “Rudy?” 

Pak Richard langsung mendecak kesal, “Jawab dengan nomor urut bukannya nama!” bentaknya. 

Pasti Omega jadi keder, dia minta ma’af berulang-ulang dan menyebut suatu nomor. “Nomor 19, Pak Richard.” 

“Bagus, selanjutnya nomor 24.” (Kalian juga mendengar Radith menelan ludah kan?) “Siapa yang duduk lima kursi dari sebelah kananmu?” tanya Pak Richard. 

Kayaknya kita (apalagi Pak Richard) sudah kelamaan nunggu jawaban Radith sewaktu dia menjawab lemah, “Saya tidak tahu.” Ruangan sejenak jadi hening. “Gagal,” seru Pak Richard pendek. 

Pertanyaan terus bergulir, semakin lama semakin susah, anak yang tidak berhasil menjawab tidak diberi pertanyaan lagi. Aku curiga ini semacam tes untuk nunjukin siapa yang paling pintar atau punya ingatan paling kuat di kelas kita. 

Inilah urutan teman sekelas kita yang tersingkir sampai putaran terakhir. 

Radith – Gina – Sarah – Ajeng – Diana – Imban – Cherry – Andy – Rudy – Zeany – Meryl – Carada – Giovani – Ken – Frans – Silvia – Freya – Baddy – Ling – Omega – Jhan 

Yup, tersisa empat orang yaitu aku, Haya, Micah dan si pendiam nomor 25. Lampu dinyalakan. Diana menghela nafas panjang, kata Ling yang berada di sebelahnya, Diana menangis tertahan dengan tubuh bergetar hebat sepanjang lampu dipadamkan. 

Mulailah Pak Richard menjelaskan ‘tugas’ selanjutnya secara panjang lebar. Intinya kita disuruh membentuk lima kelompok. Anak-anak yang gugur harus memilih seorang anak dari keempat anak yang tersisa. Namun hanya tersedia maksimal 7 tempat di setiap kelompok. Pembagian dimulai dari pilihan Radith. 

“Si bodoh tak berotak yang cuma mengandalkan otot, siapa pilihanmu?” 

Heh… apa seorang guru diperbolehkan berkata sekasar itu? Lebih dari itu apa Pak Richard punya hak untuk melakukan pelecehan yang dilakukannya selama ini kepada kita? 

Sudah kita duga sama-sama tak ada yang memilih nomor 25. Jadi beginilah pembagiannya : 

I. Aku, Ling, Diana, Silvia, Zeany, Freya, Omega dan Andy (satu-satunya anak cowok di kelompokku, kenapa dia memilihku?) 

II. Haya, Gina, Sarah, Imban, Baddy, Meryl, Jhan dan Rudy (tak kusangka ada yang mau memilih Haya selain Gina dan Imban) 

III. Micah, Radith, Cherry, Frans, Carada, Ken, Giovani dan Ajeng (cowok-cowok asyik ditambah dua cewek penggemar berat cowok) 

IV. Si nomor 25 (kasian…) 

Pak Richard membagikan kamera, “Temukan seseorang bernama Imbesil di sekolah ini, foto dia sebagai bukti kalian berhasil menemukannya. Kutunggu hasilnya. Terakhir, ada hukuman apabila tak satupun dari kalian yang berhasil.” 

Frans mengangkat tangannya, “Maaf apa Imbesil itu nama asli atau julukan?” 

“Nomor 9, itu adalah tugas kalian untuk mencari tahu, bukan tugasku! Dan hentikan senyuman menjijikanmu itu.” Khas Pak Richard sekali jawabannya. Lagipula, cuma orang gak waras yang menganggap senyum ramah Frans menjijikkan. 

Jadilah seluruh kelas berpencar ke setiap pelosok sekolah untuk mencari ‘Imbesil’. Hari yang menjengkelkan karena sama sekali tak ada yang mau menjawab jika kami bertanya, lari jika kami mendekat, dan membanting pintu sewaktu kami lewat. 

Lalu kejadian itu… 

Lima menit sebelum bel berbunyi, seorang anak cewek kelas III berteriak saat menemukan tubuh seorang anak cewek di dekat tangga, yang pingsan dengan leher patah. Ya… anak malang itu Freya, sesuai ramalan Jhan. 

(Dieca Aurora) 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang