Konklusi : Fakta Dibalik Tragedi

9.5K 693 80
                                    

“Teman-teman saya! Tolong teman-teman saya!” ratap anak itu. 

“Lepaskan dia!” perintah Inspektur pada para petugas paramedis. 

“Tapi Pak…” Sang petugas paramedis ingin menolak. 

“Teman-teman saya!!!” jerit anak tadi, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. 

“Lepaskan anak itu!!!” perintah Inspektur lagi. Kali ini intonasinya lebih keras. 

Para petugas paramedis mengalah. Mereka melepaskan pegangannya. Si anak menatap Inspektur, bingung sekaligus berterimakasih. 

“Bapak siapa?” tanyanya pada Inspektur. 

“Namaku Inspektur Gunther Shya. Kurasa kau sekelas dengan anakku.” 

Mulut anak itu terbuka lebar. “Omega?” Air matanya mengalir di pipinya. 

“Ya, dia putriku.” Inspektur Gunther memeluknya. “Tenanglah, kau aman di sini.” 

Namun si anak menolak dipeluk. “Anda tidak mengerti! Omega dan yang lain, mereka terkubur hidup-hidup! Ada murid gila yang berniat mencelakai kami!” 

“Apa maksudmu!?” Mata Inspektur Gunther terbelalak. 

“Saya berhasil kabur! Yang lain tertipu kata-katanya dan dia mengurung mereka di ruang penyimpanan beserta dirinya sendiri!” 

“Pelan-pelan… kami tidak dapat memahami ceritamu kalau kata-katamu tidak jelas seperti ini.” 

Anak tadi tercekat. Dia membuka seragamnya dan mengeluarkan sebuah buku dari balik baju dalamannya. “Ini,” diserahkannya buku itu pada Inspektur Gunther. “Semuanya ada di sini.” 

“Buku apa ini?” Inspektur Gunther membuka halaman pertamanya. 

“Itu diary kelas. Yang lebih penting sekarang tolong Anda segera ke belakang sekolah. Cari sebuah pintu tingkap beton. Di bawahnya ada ruang penyimpanan. Di sanalah Omega dan yang lain terkurung. Tolong teman-teman saya!” 

Inspektur Gunther langsung memahami kondisinya. “Lakukan yang dia katakan! Panggil bantuan! Segera!” teriaknya. 

Bawahannya berhamburan mematuhinya. Inspektur Gunther sendiri berlari menuju belakang gedung sekolah. Si anak berniat menyusulnya yang tentu saja langsung dihalangi petugas paramedis yang menanganinya. 

“Lukamu belum sembuh Nak.” 

“Tapi teman-teman saya?” 

“Ada petugas yang lebih kompeten menanganinya! Kemarikan kepalamu, perbannya longgar gara-gara kau banyak bergerak!” 

Si anak terpaksa menurut. 

“Kalau kau menurut begini kan enak. Kami tahu kau khawatir tapi kondisimu sendiri juga sedang cedera. Beristirahatlah dulu. Oh ya, namamu siapa? Biar kami bisa menghubungi orang tuamu.” 

Si anak meringis karena si petugas terlalu kencang menarik perban di kepalanya. Kemudian dia menyebutkan namanya. 

“Saya Frans. Frans Lephard.” 

“Oke Frans. Perbanmu sudah rapi. Kau berbaringlah. Kami harus mencek korban yang lain. Tak apa kan kami tinggal sebentar?” 

“Ya, saya—“ 

“Biar saya yang menjaganya,” seru seseorang. 

Frans dan si petugas menoleh ke arah pria yang datang tiba-tiba itu. 

“Anda siapa?” 

“Saya guru di sekolah ini. Nama saya Harenu.” 

Sang petugas paramedis menilai Harenu secara sambil lalu. “Benar dia gurumu?” tanyanya pada Frans. 

“Iya,” jawab Frans meyakinkan. 

“Syukurlah, saya sebenarnya tidak enak meminta Anda menjaganya. Tapi kami benar-benar kekurangan tenaga, dan kalau Anda memang bersedia tentunya,” kata si petugas. 

“Dengan senang hati.” 

Si petugas meninggalkan mereka. 

Setelah tak ada orang lain di sekitar mereka, Frans tertawa kecil. “Harenu? Nama yang bodoh, bukan begitu Pak Richard?” 

Harenu alias Richard naik ke dalam ambulance dan duduk di samping ranjang Frans. “Nama itu terlarang Frans. Orang-orang tidak akan memperlakukan seorang Richard dengan baik setelah mereka tahu hal-hal yang kulakukan pada anak-anak itu.” 

“Well, Harenu tidak terlalu buruk,” tambah Frans. 

“Prestasimu kali ini sangat memuaskan, Frans. Pihak sekolah memuji habis-habisan dan upah atas hasil kerjamu ini akan melonjak jauh. Aku pribadi berpendapat ide diary kelas itu brilian. Bukti tertulis yang membuat setiap orang yang menangani kasus ini akan berpikir ke arah yang kau mau.” 

“Yah, kurasa aku harus memulainya dari sana kan? Silvia yang baik, dia mengira ide tentang diary kelas itu datang dengan sendirinya dalam otaknya. Padahal sepanjang hari pertama aku menanyakan ke setiap anak, ‘apa kalian melihat diaryku? Diary itu berisi semua kejadian di SMP-ku, banyak kenangan penting di dalamnya’. Dan Silvia menelan pancingan tersebut bulat-bulat. Untungnya dia malah lupa aku yang menyebutkan kata ‘diary’ tersebut. Terlepas dari kemungkinan bahwa dia belum hapal dan mengenal anak lain selain Cherry.” 

“Aku juga penasaran pada ramalan Jhan yang selalu tepat. Apa menurutmu dia benar-benar bisa meramal?” 

Frans tertawa tanpa suara. “Jhan? Meramal? Kau percaya itu!? Akulah yang meramal untuknya. Aku menghadiahinya satu set kartu tarot. Membohonginya bahwa kartu tarot itu bisa meramal sendiri. Selanjutnya setiap aku perlu, aku tinggal mengambil sehelai kartu tarot, menuliskan sebuah ramalan, menyelipkan ke bukunya dan Jhan yang menemukannya kegirangan mengira kartu tarot tadi benar-benar ajaib. Walau kuakui aktingnya sebagai peramal palsu saat menyampaikan ramalan-ramalan tersebut sungguh memudahkan rencanaku.” 

“Tak ada yang curiga?” 

“Carada pernah curiga si Jhan tidak se-ahli kelihatannya. Beberapa anak yang lain juga. Lalu lama kelamaan kecurigaan itu hilang dengan sendirinya.” 

“Ah ya, ramalan pertamanya tentang Freya kan?” 

“Freya yang malang. Dia cukup beruntung tidak sampai tewas kudorong dengan keras begitu. Andai kau melihat tubuhnya yang terguling di tangga, begitu menyedihkan.” 

“Souvenir-mu dari kecelakaan itu sempat menyusahkanku,” cibir Richard. 

“Foto itu maksudmu? Ayolah Pak Richard, ma’afkan aku yang tidak sanggup menahan keinginan untuk sekedar memiliki kenang-kenangan di hari itu.” 

“Dengan memotretnya?” sembur Richard. 

“Foto itu memiliki fungsi lain kan?” 

Richard mendecak, “Tepat, kau berhutang padaku untuknya. Kau tahu kan sulit sekali meyakinkan galeri di Bandung itu melalui telepon untuk memajang foto sialan tersebut.” 

“Aku suka idemu meniru suara si nomor 25 saat menelepon,” puji Frans. 

“Kok kedengarannya ucapanmu tidak tulus ya?” 

“Orang yang paling berjasa di hari itu kan Sarah, bukan Pak Richard.” 

“Keahlian yang unik ya, Sarah itu.” 

“Layaknya seorang profesional. Berkat keahliannya itu aku bisa mengusir Aurora dan yang lain dari sisi Freya.” 

“Bagaimana caramu membujuknya supaya mau terlibat?” 

“Diawali pujian untuknya tentunya. Dia gila dipuji. Selanjutnya dia langsung tertarik sewaktu kuberi ide untuk mempraktekkan keahliannya.” 

“Apa dia tahu keterkaitan rencana itu dengan rencanamu mencelakai Freya?” 

“Tidak-lah! Kaukira aku bodoh. Makanya dia ketakutan setengah mati menghadapi kecelakaan Freya. Dia menyalahkan dirinya. Hampir saja dia mengaku pada Diana tapi keburu kutahan dan kubilang padanya semua itu kebetulan belaka. Dia tidak bersalah sedikitpun. Dan pengakuan dirinya hanya bakal membuat dirinya dianggap sebagai si pelaku pendorongan.” 

Richard bersandar ke dinding ambulance sambil mendesah lega. 

Frans berdecak, "Kurasa aku harus sedikit berhati-hati mengenai foto-foto Ajeng sebenarnya, foto yang mati-matian kuambil diam-diam. Tapi tentu saja berhasil dengan baik. Akuilah kau kagum padaku."

“Aku akan kagum kalau semua rencanamu berhasil. Tanpa celah!” 

Giliran Frans yang mencibir. “Aku cuma gagal satu kali kan! Itupun tidak bisa dianggap gagal. Toh Cherry tetap trauma karenanya. Akibat sopir truk brengsek itu ketakutan di saat-saat akhir dan jadi meleset menabrak Cherry.” 

“Tidakkah terlalu berlebihan membuat Cherry cacat sebelum waktunya?” 

“Mau gimana lagi, aku benci sekali cewek cerewet itu sih.” 

“Mungkin ancamanmu ke sopir truk itu kurang mengena.” 

“Siapa bilang aku mengancamnya!? Si sopir truk dungu tersebut minta bayaran 100 juta untuk melakukannya. Dan alih-alih menabrak Cherry seperti yang kusuruh, dia malah menghantam pagar.” 

“Dia melaporkanmu ke polisi loh.” 

“Mana mau polisi percaya pada ceritanya. Mereka menganggap si sopir mengada-ada untuk meringankan hukumannya.” Wajah Frans mengernyit menahan sakit, dia memijiti kepalanya berharap sakitnya berkurang. 

“Kenapa kepalamu sampai terluka begitu?” 

“Tak ada alasan khusus sebenarnya. Aku memukul kepalaku sendiri dengan batu biar terlihat seperti korban betulan.” 

“Ooo~~~ pasti sakit sekali ya Nak?” kata Richard pura-pura iba. 

Frans memicingkan matanya. “Bersyukurlah Bapak seorang guru. Kalau tidak, pasti sudah kubuat babak belur sekarang.” 

“Cih… kenapa jadi mudah tersinggung begitu?” 

“Sudahlah, aku lebih tertarik pada pencapaian tujuan kita. Bagaimana hasilnya?” 

Richard mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tas kerjanya. 

“Tahun ini panen, Frans. Selain mendapat penggantian asuransi untuk setiap jiwa anak-anak itu kita juga mendapatkan penutupan asuransi kebakaran untuk sekolah ini.” 

“Kuharap kalian puas. Rasanya permainan ini mulai membosankan bagiku. Mengumpulkan semua anak-anak orang penting dan berkuasa dalam satu kelas, memasang asuransi jiwa yang tinggi bagi mereka, menjebak mereka dalam suatu kecelakaan, lalu apa yang keluarga kami dapat? Upah yang tak sebanding sementara pihak sekolah berfoya-foya dengan uang penggantian dari pihak asuransi.” 

“Jangan mengeluh padaku. Bukan aku yang membayarmu. Pihak sekolah bilang ini adalah tahun terakhir, Frans. Perusahaan-perusahaan asuransi kita mulai curiga walau mereka tidak punya bukti semua kecelakaan dalam enam tahun terakhir sudah diatur.” 

“Asuransi jiwa siapa yang paling tinggi?” 

“Kau tidak akan percaya ini!” Richard membalik kertas di hadapannya, menunjuk ke sebuah nama, “Giovani Nova! Lihat, nilai pertanggungan asuransinya bahkan dua kali lipat dari nilai Trisha Ellen yang kita dapat tahun lalu.” 

“Yang paling kecil?” 

“Tunggu kubaca sampai akhir dulu. Wah ternyata ada tiga anak di tahun ini yang nilainya lebih tinggi dari nilai Trisha. Haya Saptayudha, si anak sok penting itu; Radith Cobey, luar biasa nilainya; terakhir Andy Dhanie Elfani, si bodoh itu, ada gunanya juga dia akhirnya. Sayangnya aku agak kecewa pada nilai pertanggungan Rudy Wisnubrata. Menyamai Trisha sih, tapi kupikir seharusnya bisa lebih tinggi lagi.” 

“Siapa yang paling kecil!?” ulang Frans tidak sabar. 

“Meryl Jangkaru.” 

“Apa? Bukan Gina Handayani ya?” 

“Kau ini kenapa!? Kaget mendengar Meryl pertanggungannya rendah, tapi tenang-tenang saja saat tahu Gio mendapat angka fantastis.” 

“Ayah Gio memang cuma seorang pemilik restoran mewah. Kalah pamor dengan anak yang lain. Tapi ibunya adalah sepupu Presiden.” 

“Yang benar!!!” 

“Aku juga baru tahu saat ke rumahnya untuk membuat bakpau maut dulu.” 

“Pssssttt…” Richard menempelkan telunjuknya di bibirnya. “Inspektur itu kembali.” 

Frans menyambutnya, “Pak Inspektur, bagaimana teman-teman saya?” 

“Sulit,” jawab Inspektur Gunther. “Ruang penyimpanan yang kau maksud dipenuhi bongkahan beton yang runtuh dari langit-langitnya. Kami terpaksa mengeluarkan bongkahan-bongkahan tersebut terlebih dahulu. Aku ke sini untuk melihat keadaanmu. Namamu Frans, kan?” 

Frans mengedik pelan. “Ya. Bapak tahu dari petugas paramedis ya?” 

“Bukan. Sebenarnya saat ini seluruh orangtua teman sekelasmu telah tiba di sini dan mereka menunggu proses penyelamatan di dekat pintu tingkap ruang penyimpanan. Aku punya daftar nama murid di kelasmu dan kuperhatikan hanya orang tua dari anak bernama Frans Lephard yang tidak datang.” 

“Saya tinggal bersama kakak saya,” jelas Frans. 

“Aku juga sudah selesai membaca buku diary kalian.” Inspektur Gunther mendesah panjang. “Sungguh tak terbayangkan penderitaan yang kalian alami selama ini. Siapa si nomor 25 itu sebenarnya?” 

Frans menunduk, berakting terpukul, “Kami tidak tahu apapun tentang dia.” 

“Aku bisa merasakannya. Kelas kalian terasa tidak normal bagi siapapun.” Inspektur Gunther menepuk kepala Frans. “Usai membaca tulisanmu, dan mempelajari pandangan setiap anak padamu, aku mengambil kesimpulan kau anak yang baik, Frans.” 

“Saya setuju,” kata Richard ikut campur. 

“Ma’af Anda siapa?” tanya Inspektur Gunther, baru menyadari keberadaan Richard. 

Richard mengulurkan tangannya yang disambut ragu oleh Inspektur Gunther. “Saya Harenu, salah satu guru di sekolah ini.” 

“Guru?” tangkap Inspektur Gunther. “Anda kenal dengan Pak Richard berarti?” 

“Dia kolega kami.” 

“Apa Anda tahu dia telah memberikan tes-tes aneh pada siswa dan cara mengajarnya pun tak lazim? Buktinya tertulis di buku ini.” Inspektur Gunther menunjukkan diary kelas. 

Richard mengulurkan tangannya, dikiranya si Inspektur menyuruhnya membacanya. 

Namun Inspektur Gunther menjauhkan buku itu dari jangkauan Richard. “Ma’af Pak Harenu, buku ini barang bukti, jadi tak sembarang orang bisa melihatnya.” 

Toh aku sudah tahu isinya, pikir Richard, sedikit kesal. “Kami juga minta ma’af Pak Inspektur. Pihak sekolah baru mengetahui penyimpangan Pak Richard dua minggu kemudian. Karena itulah kami memecatnya dan menggantinya dengan Pak Benny dan Bu Collins.” 

“Saya rasa Pihak Sekolah harus bertanggung jawab terhadap kasus ini. Ditambah minta ma’af pada semua orang tua murid secara langsung. Itupun takkan cukup. Saya akan pastikan pihak kepolisian tidak akan tinggal diam. Sekolah ini dalam masalah besar.” 

Richard menunduk. “Pasti Pak.” Namun hatinya tersenyum, karena sekolah selalu berhasil lolos seperti tahun-tahun sebelumnya, polisi takkan menemukan keterlibatan pihak sekolah sedikitpun dalam kasus ini. 

“Anda tenang sekali,” kata Frans. Dia tidak suka mendengar kata tanggung jawab apalagipermintaan ma’af. 

“Ya, Nak?” Inspektur Gunther kebingungan pada nada suara Frans yang mengandung kebencian. 

“Anda tenang sekali,” ulang Frans, memasang lagi nada suara ‘anak baik-baik’nya. “Padahal Anda bilang ruangan penyimpanan tempat teman-teman saya berada termasuk anak Anda penuh bongkahan beton. Dengan kata lain persentase kemungkinan mereka masih hidup sangatlah kecil.” 

Inspektur Gunther menggigit bibirnya. “Aku hancur. Tentu saja. Tapi kalau aku tidak mampu mengatasi emosiku sendiri, aku hanya akan membuat segala sesuatunya tambah tidak karuan.” 

“Anda hebat,” puji Frans pelan. 

“Aku harus kembali.” Inspektur Gunther beranjak pergi. 

“Saya ikut.” Frans turun perlahan dari ambulance. 

“Jangan, kau harus banyak istirahat,” cegah Inspektur Gunther. 

“Tak apa, saya akan menemaninya,” tawar Richard. 

Inspektur Gunther menimbang-nimbang usul tersebut. Terasa sekali kebenciannya pada pihak sekolah mempengaruhi caranya menilai Richard (atau Harenu). 

“Kau yakin sudah cukup kuat?” kata Inspektur Gunther. Nada penolakannya mudah dikenali.

“Saya bersikeras,” putus Frans. 

Inspektur Gunther tidak mengatakan apa-apa lagi. 

Ketiganya berjalan dalam diam. Tidak. Tidak ketiganya. Richard menelepon seseorang melalui ponselnya. Inspektur Gunther tidak mendengarnya sebab suara Richard teredam oleh celotehan ratusan orang yang pulang setelah yakin tak ada lagi yang bisa mereka tonton. 

Frans menghirup udara malam dengan lega. Bayangan hari-hari terakhir yang dilaluinya berkelebat di kepalanya. Hari dimana Baddy duluan menyapanya dan memintanya duduk di sampingnya. Game bodoh Truth or Dare yang dimainkannya bersama Radith dan Ken, yang berakhir pada aksi ciumannya dengan Ken. Dan pertandingan catur penuh muslihatnya melawan Meryl. 

Dia menyukai mereka sekaligus mengasihani. Rasa sukanya bahkan lebih untuk satu orang. Silvia. Frans sudah memohon supaya boleh mencoret nama Silvia dari daftar anak yang harus dikorbankan. Dewan sekolah menolak mentah-mentah permintaan Frans, menertawakannya dan menuding kemampuannya melempem gara-gara terbawa perasaan. 

Kelegaannya terhenti. Beban yang dipikirnya akan turut menghilang seiring selesainya tugasnya ternyata malah meninggalkan ruang kosong di hatinya. Dia membalikkan badan, melemparkan pandangan sengit pada Richard yang masih saja sibuk menelepon. Kemarahan membuncah di dadanya. Richard membalasnya dengan memberi pandangan‘apa?’

“Kau harus memakainya.” 

Frans terkesiap. Inspektur Gunther menyodorkan sehelai masker kain ke wajahnya. 

“Udara di belakang sekolah dicemari oleh asap, debu, abu dan benda-benda mikroorganik lain yang cukup berbahaya kalau sampai terhirup. Makanya kita harus memakainya.” Inspektur Gunther memakai masker tadi. Frans mengikutinya. 

Seorang polisi memberikan masker untuk Richard. Richard mengakhiri pembicaraannya, memakai masker tersebut dengan cara menempelkannya di hidungnya menggunakan tangan bukan dengan mengaitkan talinya di telinga seperti yang dilakukan orang lain. 

Gedung sekolah tak bisa dikenali. Tiang-tiang besar menghitam. Bersedih sebab tak sanggup menopang beban yang diterima setiap lantai. Reruntuhan lantai dan dinding berkeretak-keretak, sementara abu dari perabotan yang terbakar menumpuk dimana-mana. Api kecil masih berkobar di beberapa titik, para petugas melemparkan pasir untuk memadamkannya. 

Di sekitar pintu ruang penyimpanan berdiri puluhan orang tua murid yang memasang wajah terpukul. Beberapa diantaranya terisak perlahan. Frans mengenali ayah Micah dan menyapanya. Ayah Micah memperkenalkannya pada ibu Micah sebagai ‘teman Micah yang baik hati’. Ibu Micah menangis sambil memeluknya. Frans mengusap punggung ibu muda itu untuk menenangkannya. 

Richard menatap pemandangan itu penuh rasa kagum. Sialan si anak setan ini mahir sekali bersandiwara, pikirnya. 

Sekonyong-konyong terdengar kegaduhan dari bawah. 

“Ada apa itu?” 

Setiap orang bertanya-tanya dan menunggu dalam gelisah. 

“Mereka menemukan anak-anak itu!” seru Inspektur Gunther. “Tolong semuanya mundur ke belakang! Kalian mempersulit proses evakuasi timku bila bergerombol di sini! Mundur segera!” Inspektur Gunther berteriak-teriak. 

Sembari berharap banyak dan berdo’a tanpa henti, lamban serta enggan para orang tua murid mundur mengikuti instruksi. 

Setiap orang diliputi ketegangan. Tak ada yang berniat berbicara. 

Frans mengernyit. Jari jemari ibu Micah mencengkeram lengannya terlalu erat. 

Kemudian tubuh pertama diangkat perlahan dari dalam ruang penyimpanan. 

Seorang ibu gendut berteriak histeris, “ANDY~~~!!!” Dia berlari menyongsong anaknya. Memeluk dan menangisi tubuh Andy yang mulai dingin. 

Mayat kedua muncul hanya berselang beberapa menit kemudian. Mayat Imban. Darah mengering di kakinya yang remuk. Kali ini giliran seorang nenek yang memekik menyedihkan. Seakan tak kuat menanggung kenyataan, nenek itu roboh di tempat. 

Kejadian tersebut terus terulang, setiap ada tubuh yang diangkat ke atas pasti dilanjutkan oleh jeritan maupun tangisan. 

Begitu pula Inspektur Gunther yang menatap getir wajah Omega yang diselimuti serpihan batu. Dia mengangkat mayat anaknya menjauh sambil terisak perlahan. 

Mayat demi mayat dikeluarkan. Rudy dikeluarkan setelah mayat Carada yang kondisinya paling mengenaskan diungsikan ke ambulance. 

Lalu dua anak dikeluarkan bersamaan. “Anak ini meninggal dalam posisi memeluk anak yang lainnya,” terang seorang petugas evakuasi. “Kami tidak dapat melepaskan pelukannya. Mau tidak mau harus diangkut berdua sekaligus. Apa ada yang bisa mengidentifikasi siapa anak perempuan yang dipeluknya? Wajahnya penuh darah…” 

“Zeany,” jawab Frans, melepas maskernya. 

Semua orang memandangi Frans. 

“Satu-satunya anak yang akan dipeluk dan dilindungi Rudy hanyalah Magenta Zeany,” lanjut Frans. 

Orang tua Zeany melangkah maju. Pakaian yang mereka pakai elegan namun penuh noda arang. “Ya, dia anakku,” isak ibu Zeany. 

Tinggal tiga orang, hitung Frans dalam hati. Dan orang yang ditunggunya belum dikeluarkan. 

Seseorang menepuk pundak Frans. Frans menengadah, matanya bertemu mata Inspektur Gunther yang sembab. 

“Inspektur? Bukankah tadi Anda…? Omega kan?” Frans memaki dalam hati, tidak menyangka Inspektur Gunther kembali secepat itu. 

“Aku khawatir padamu.” 

“Pada saya?” 

“Anak seusiamu melihat pemandangan mengerikan ini dapat menimbulkan trauma. Bisa merugikan kondisi kejiwaanmu. Ada baiknya kau segera pulang.” 

Tidak usah sok baik hati, caci Frans dalam hati. “Sebentar lagi,” mohonnya berpura-pura. 

Inspektur Gunther memanggil salah satu bawahannya. “Sisa berapa anak di bawah sana?” 

“Dua,” jawab bawahannya. “Satu anak perempuan. Yang lagi diangkat itu…” 

Silvia. 

Tubuh Frans spontan bergerak berniat mendekat. Dengan sigap Richard menarik tangan Frans, menahannya. Frans menyentakkan tangannya, berusaha melepaskan pegangan Richard. Tenaga Richard lebih kuat, pegangannya tak terlepas, dia menggeleng, memaksa Frans bersabar. 

Dengan getir Frans hanya bisa memandangi dari jauh, sosok Silvia yang berada dalam gendongan ayahnya. Ibu Silvia membelai rambut anaknya, menangis tanpa suara. 

“Satu lagi anak laki-laki gendut, agak sulit mengangkatnya,” terang bawahan Inspektur Gunther. 

Mereka salah hitung, pikir Frans. 

Sebuah kepala muncul dari dalam ruang penyimpanan. “Inspektur Gunther. Ini keajaiban, Pak! Kami perlu bantuan Anda di bawah sini!” 

Inspektur Gunther buru-buru berlari, “Kuharap ini penting, Larry!” 

Secercah senyum samar menghiasi wajah Larry. “Ada yang masih hidup, Pak.” 

Frans terhuyung ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Shock yang serupa dialami oleh Richard.

“Frans, apa mereka serius? Hei Frans!” 

Kata-kata Richard melesat bagai angin lalu. Frans tidak menjawab, dia sibuk mengingat siapa saja yang sudah diungsikan keluar. 

Merasa tidak diacuhkan, Richard mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaannya. Dia berlagak mau membantu proses evakuasi. Disingkirkannya bongkahan beton yang menghalangi jalan dua petugas evakuasi yang menggotong tubuh Gio. “Kudengar ada anak yang berhasil bertahan hidup?” 

Mereka mengiyakan. “Mukjizat, kurasa. Anak itu jiwanya sangat terguncang. Inspektur Gunther masih membujuknya supaya mau keluar.” 

“Bagaimana dia bisa bertahan?” 

“Oh, anak itu bersembunyi di sebuah lubang kecil. Lubang itu tak terlihat oleh kami karena anak gemuk ini menutupinya.” Mereka membaringkan tubuh Gio di sebuah tandu. “Kalau dipikir-pikir lagi, aku malah menduga semua anak yang meninggal di sana berusaha melindungi lubang persembunyian dia. Bisa dilihat dari posisi mereka yang berkumpul di sekitar lubang.” 

Cukup, batin Richard. Dia harus kabur. Anak yang selamat tadi bisa membongkar penyamarannya. Richard melalui Frans tanpa pamit. 

Inspektur Gunther keluar dari ruang penyimpanan membawa seorang anak bersamaan dengan menghilangnya Richard di tengah kerumunan petugas kebakaran. 

Bagi Frans, waktu terasa berjalan sangat lambat. Dia menatap anak itu. Anak itu membalas tatapannya. Si anak melepas rangkulan Inspektur Gunther, menepis tangan orang tuanya. Frans merentangkan tangannya, bersiap memeluk Gina. 

Ya, anak itu Gina. 

Cuma Gina, pikir Frans. Hanya anak yang kekurangannya lebih menonjol daripada kelebihannya, pikir Frans lagi. 

Apa sih yang bisa Gina lakukan? Rencana-rencana yang disusunnya sempurna. Seorang Gina takkan berpeluang mengacaukannya. 

Gina beruntung. Oh, berharapnya Frans andai saja yang selamat dan berdiri di hadapannya sekarang adalah Silvia. 

Langkah Frans tersendat. Ada yang salah, pikirnya. Tangannya makin terangkat, namun Gina tak juga menjatuhkan diri ke pelukannya. 

“Gina?” lirih Frans. 

Kejadian itu berlangsung cepat. Telapak tangan Gina menghantam pipi Frans. Tamparan itu membekas merah. Frans tak sempat menghindar. 

Inspektur Gunther dan kedua orang tua Gina terbelalak. Orang-orang yang berada di sekeliling mereka juga membisu, menghentikan pekerjaan mereka masing-masing. 

“Kami TAHU!” teriak Gina diselingi tangisan pilu. “Jika kau pikir kau sudah berhasil membodohi kami, maka kau SALAH! Kami TAHU kau menjebak kami!!!” 

“Tenangkan dirimu, Nak,” kata Inspektur Gunther. “Kau masih terpukul.” 

Gina menggeleng lemah. Diserahkannya sehelai kertas pada Inspektur Gunther. Dan Gina pun mulai bercerita dengan terbata-bata dan air mata yang tak berhenti mengalir. 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang