Hari Keenam
Kalau maksudmu aku harus percaya pada ramalan Jhan seperti Andy yang menelannya mentah-mentah, maka kau keliru Carada.
Seperti yang kau tulis, ‘kita lihat saja tiga hari lagi’. Yah aku juga akan menantinya, dengan bersemangat malah. Tapi akan kupastikan kalian (kau, Jhan dan Andy) akan kalah. Aku tidak sabar lagi tertawa di hadapan kalian, karena PASTI AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA pada hari itu.
Aku paling benci dengan orang-orang yang mengkait-kaitkan alam dengan ramalan bodoh yang tidak ada gunanya. Apalagi menghubung-hubungkan pergerakan tatasurya dengan nasib seseorang. Coba pikir! Bagaimana mungkin posisi Mars dengan Venus berdampak pada kehidupan cinta? Itu bodoh! Super bodoh!
Kenapa kita tidak lebih tertarik pada kenyataan bahwa planet-planet itu menakjubkan bukan karena pengaruhnya pada jalan hidup tapi karena eksistensi planet itu sendiri. Maksudku adalah seberapa banyak dari kalian yang tahu bahwa Jupiter adalah planet terbesar, atau Mars yang memiliki karakteristik mirip Bumi. Dan aku berani bertaruh kalian tidak tahu ada planet baru ditemukan setelah Pluto. Jadi—
(Hai semuanya, ma’af kuputus, aku Aurora, saat Freya menulis buku ini aku sedang menginap di rumahnya. Seperti yang kuduga dia akan lebih terfokus menceritakan ilmu astronominya dibandingkan menulis tentang kejadian di kelas. Bukunya kupegang dulu. Aku akan mengembalikan buku ini jika Freya mau berjanji menulis sesuai jalur. Kau harus berterima kasih padaku untuk ini, Silvia).
Kau mulai gila seperti mereka, Aurora.
OK. OK. Akan kuceritakan apa yang terjadi di kelas hari ini jika itu bisa membuat kalian puas.
Seperti yang kalian ingat hari ini kita semua diseret ke ruang musik. Di ruangan itu hanya ada 18 kursi lipat berwarna merah yang disusun menjadi dua barisan di hadapan sebuah panggung kecil. Pak Richard memanggil 7 anak ke belakang panggung. “Nomor 1, 4, 9, 18, 19, 23 dan 25, ikuti saya, yang lainnya duduk di kursi yang sudah disediakan.” Semua anak perempuan duduk di barisan depan kecuali si genit Cherry yang duduk di belakang di sebelah Radith, serta Gina yang dengan patuh duduk di tengah-tengah Haya dan Imban.
“Nomor 23.” Pak Richard mengumumkan. Cherry, Radith dan Ken menjulurkan kepala, menegakkan badan. Tirai panggung terangkat perlahan, memperlihatkan Micah di depan sebuah Grand Piano. Dia tersenyum, mengangguk sedikit dan mulai menarikan jari-jemarinya di atas tuts putih. Permainan piano Micah seindah senyumannya. Aku bisa lebih menikmatinya kalau saja tidak ada Ajeng yang merepet menyebalkan di sebelahku.
“Nomor 4.” Micah menghentikan permainannya dan Aurora maju menggantikannya. Lantunan lembut terdengar dari flute yang ditiupnya. Kau hebat Aurora. Cantik dan berbakat.
“Nomor 9.” Frans keluar dari belakang panggung membawa sebuah gitar. “Ma’af tapi saya tidak pernah memainkan lagu klasik,” katanya ringan. Ajeng cekikikan, diikuti Ling. Dasar tidak sopan! Tahu apa mereka tentang musik.
Pak Richard menekuk wajahnya, lalu berkata. “Aku tahu itu. Si nomor 18 pasti juga tak mengenal yang namanya musik klasik. Nomor 4 dan 23, kalian turun dulu.” Aurora dan Micah mengangguk (lega). “Nomor 18.” Giovani bergegas maju. Sebuah tirai lain terangkat, ada instrumen drum di sana. Gio mengambil stiknya.
“Mainkan lagu yang kalian bisa.” Guru ini, biasa banget sepertinya memerintah dengan nada dingin seperti itu.
Frans membisiki Gio yang dibalas Gio dengan kalimat, “Ya, Gio tahu lagu itu.” Dan dimulailah permainan lagu modern dari keduanya. Lagunya menghentak, dinamis dan riang. Benar-benar menyenangkan. Dan kita lebih terkejut lagi saat sebuah suara mulai mengiringi musik tadi. Nyanyian paling indah yang pernah kudengar. Kurasa kalian juga merasakannya. Terpukau oleh sesuatu yang meresap ke setiap relung hati kita. Aku takjub. Kukira malaikatlah yang sedang bernyanyi, namun itu Diana, teman sekelas kita.
Tapi si brengsek Pak Richard itu merusaknya. “Berhenti nomor 1! Aku belum menyuruhmu keluar. Apa kau ingin melanggar peraturan!?”
Peraturan!? Peraturan sebodoh apa yang melarang seseorang bernyanyi seluarbiasa itu.
“Kalian dihukum.” Muka guru sialan itu mengkerut. “Nomor 25 maju!” Lalu si gadis dekil yang sampai sekarang tak kita ketahui namanya itu maju membawa sebuah biola. “Mainkan lagumu! Jangan berhenti sebelum kusuruh.” Si nomor 25 mulai menggesek biolanya, memainkan sebuah lagu menyayat, lagu yang pasti kita kenal karena diputar setiap hari di kelas kita! Lagu yang pertama kali disadari dan ditulis di diary ini oleh Silvia.
Gadis itu memainkannya sampai bel pulang berbunyi. Di akhir hari, setelah mendengar lagu terkutuk tersebut seharian, terus terngiang satu hal di kepalaku, ‘aku jadi ingin mati’.
(Freya Alvando)
Komentar minggu pertama
Diana : terima kasih atas pujiannya Freya, tapi nyanyianku tidak sebagus itu ah, dan ya terus terang permainan biola gadis itu menakutkanku
Sarah : -
Ling : Freya bodoh! Siapa yang suka cekikikan
Aurora : habis ini giliranku, jadi tidak ada komentar dariku
Haya : kenapa kalian semua menulis seakan-akan aku itu orang yang menyebalkan…
Imban : benar kata Haya, sejuta persen benar!!!
Silvia : tolong buku ini jangan dijadikan ajang baku hantam
Cherry : kyaaaa… kalian mau tau nggak urutan tiga cowok favorit Cherry, ini dia… 1. Radith 2. Micah 3. Frans, kalau Ken? uh si bodoh itu mati saja deh
Frans : wah urutan ke-3 ya aku, tapi Cherry, ditolak cowok itu kan biasa, jadi nyante aja
Baddy : -
Meryl : apa kalian tidak suka darah?
Zeany : oh Meryl, berhenti membicarakan darah sepanjang hari!
Carada : ha-ha-ha, gila kan, kumpulan orang bodoh, kelas bodoh, guru bodoh, semuanya bodoh
Jhan : aku melihat kemalangan di nasib kalian
Freya : hentikan ramalan sinting itu Jhan!
Omega : aku punya sebuah rahasia, aku melihat sesuatu yang salah, aku mendengar sesuatu yang seharusnya aku tidak tahu
Ken : kalian gila…
Giovani : semuanya, bagaimana kalau kita makan bareng di rumah makan di sebelah pos polisi, enak loh
Rudy : kurang kerjaan…
Andy : -
Gina : Haya dan Imban itu baik, kalian menilai mereka salah
Ajeng : ho— apa kalian ingin tau gosip terbaru, hubungi aku di nomor 081XXXXXXXXX
Micah : buku ini menarik yah…
Radith : hei-hei gue nggak mau ngasih buku ini ke si nomor 25, ogah! gue kasih langsung ke Aurora aja…
KAMU SEDANG MEMBACA
25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)
Mystery / ThrillerDua puluh lima anak melangkahkan kakinya di kehidupan SMU dengan harapan yang beragam. Mereka ditempatkan dalam sebuah kelas yang tidak lazim dan mendapatkan guru yang memandang mereka tidak lebih dari sekumpulan kelinci percobaan. Seakan belum cuku...