Diary Hari Kesembilanbelas

7.6K 609 29
                                    

Hari kesembilanbelas 

Kalian berusaha membuat kepalaku pecah ya!? Semuanya tidak ada yang beres. Bayangkan saja, Cherry membawa empat buah koper untuk darmawisata yang hanya selama tiga hari dua malam! Memangnya mau pindah rumah! Sebaliknya Andy si serba lelet lupa membawa kopernya sendiri! Kita terpaksa menunggu dia mengambil koper bodoh itu terlebih dahulu di rumahnya. 

Aurora lagi-lagi terlambat! Sangat terlambat! Jadwal keberangkatan jadi semakin mundur. Menyusahkan semua orang saja! 

Akhirnya aku bisa mengabsen kalian. Lengkap. Si nomor 25 juga hadir membawa sebuah tas tenteng ungu dekil. Sedikit sekali bawaannya. 

Rupanya kalian memang susah diatur ya! Capek-capek aku mengatur tempat duduk tiap anak di bus biar tertib, eh kalian malah duduk di sembarang tempat seenak perut kalian. Aku menyerahkan absensi kelas pada Bu Collins. Beliau menolak. 

“Pegang saja dulu. Setiap keluar dan masuk bus harus terus diabsen. Keadaan setiap siswa juga wajib di cek satu jam sekali. Itu tugasmu sebagai ketua kelas.” Begitu katanya. 

Meryl menarik bajuku. “Aku ingin duduk di belakang,” rengeknya. 

Kulihat kursi paling belakang. Ada lima kursi. Tiga kursi sudah ditempati Carada, Gio dan Omega. Satu kursi dekat pintu milikku. Kursi yang kosong rencananya kupakai sebagai tempat buku-buku. 

“Sudah penuh! Cari kursi yang lain,” putusku. 

“Aku ingin di situ.” 

Dasar keras kepala. 

“Sudah kubilang cari yang lain!” 

“Hei Meryl,” panggil Micah. “Di sebelahku masih kosong.” 

Meryl menggaruk kepalanya. “Bukannya Radith tadi duduk di sebelahmu?” 

Radith melongok. “Oh gue duduk di sini kok. Di sebelah Cherry.” 

Cherry yang duduk di samping Radith nyengir. Matanya menghindari mataku. Berani taruhan Radith pasti menyimpan supply rokoknya di koper Cherry. 

“Oke.” Meryl pergi dari hadapanku. 

“Apa ada lagi yang belum dapat kursi?” tanyaku. 

Gina menunjuk ke depan. 

Cih. Si nomor 25 masih berdiri di belakang supir. 

“Kenapa kau belum duduk juga?” kataku. 

Dia membuka mulut, suara kering keluar dari sana, “Aku duduk di mana?” 

Ada banyak kursi kosong. Dia kan bisa duduk dimanapun yang dia inginkan. “Terserah kamu, cepatlah duduk.” Aku kesal sekali. 

Gadis itu memilih tempat duduk di sebelah kiri dekat jendela. 

“Jangan di situ!” bentak Baddy. “Jangan duduk di kursi yang sejalur dengan kursiku. Merusak pemandangan.” 

Si nomor 25 berdiri. Berpindah ke kursi disebelahnya. 

“Ho-ho- tidak boleh…” Omega berteriak dari belakang. “Aku juga tidak mau sejalur denganmu. Bisa sial nanti!” 

Silvia dan Zeany yang duduk di depan Omega langsung menegurnya. 

“Kau keterlaluan Omega,” kata Silvia. 

Omega mencibir. 

Si nomor 25 berpindah lagi. Kali ini ke kursi sebelah kanan. 

Giliran Cherry yang merepet, “Aaa---Cherry nggak suka dia duduk di situ. Sejalur dengannya membuat asma Cherry kambuh. Mana lupa bawa obatnya lagi.” 

“Ah.. Che-cherry punya pe-penyakit asma ya? A-aku ju-juga. A-aku ba-bawa obatnya,” celetuk Andy menawarkan. 

“Sejak kapan lue punya penyakit asma?” bisik Radith. 

Cherry menohok rusuk Radith, menyuruhnya diam. 

Harapan terakhir. Kusuruh si nomor 25 pindah ke dekat jendela. Kupandangi satu persatu anak yang sejalur dengannya. Menunggu kalau ada yang protes. 

Ajeng. Tidak peduli. 

Frans. Membaca majalah. 

Radith. Menguap. 

Andy. Mencari sesuatu dalam tasnya. 

Carada. Ngobrol sama Gio. 

Aku menghela nafas. Melangkah menuju kursiku. 

Tiba-tiba, “Haya… Haya…” Suara Radith berkesan mengejek. 

Mau apa anak ini? 

“Lue pikir gue setuju apa dia duduk di situ. Pindah!” Radith berdiri. 

Semuanya terdiam. Aku jadi ingin menghadiahkan satu bogem mentah ke muka Radith. 

Siapa sih yang suka pada gadis itu? Aku juga tidak. Tapi kalau terus begini kita bakalan nggak berangkat-berangkat juga. Aku melirik Bu Collins dan Pak Benny yang sepertinya sama sekali tidak sadar atas ketegangan yang terjadi di dalam bus. 

Frans melipat majalahnya. “Begini saja. Kita ambil suara. Di jalur ini siapa yang tidak setuju gadis itu duduk di kursinya sekarang tolong angkat tangan.” 

Radith mengangkat tangan tinggi-tinggi. Tapi cuma Radith. Yang lain tidak. Dia kalah suara. 

Bus berangkat. Kendaraan kita melaju meninggalkan gedung sekolah. 

“Haya…” Silvia menjentik jemariku yang menjuntai lemas. “Seharusnya tadi kau minta bantuan Bu Collins atau Pak Benny.” 

“Untuk apa? Buktinya aku bisa menanganinya kan.” 

Silvia tertawa pelan. “Kamu? Yang berhasil membungkam Radith kan Frans bukannya kamu!” 

Huh. Tahu apa sih Silvia ini? 

Aku menarik nafas panjang. Dan hidungku menangkap sesuatu. 

Harum. Bau apa ini? Bersumber dari kotak yang ditaruh dekat kaki Gio.. 

“Kamu bawa apa Gio? Harum banget.” 

Gio menepuk kepalanya. “Hampir aja Gio lupa. Gio kan bawa kue.” 

“Kue?” Carada menegakkan badan. Hidungnya mengendus-endus lapar. 

Gio membuka kotak tupperware besar. Aromanya menyebar cepat. Kepala-kepala kalian yang kelaparan bermunculan dari balik kursi. Mirip pose anak-anak burung yang kesenangan dibawakan induk mereka cacing. 

Gio berdiri menyodorkan kotak kuenya ke semua orang. 

“Iiih… kuenya lucu banget Gio. Ini bakpau kan? Kok bisa berbentuk kura-kura begini?” cericit Ling. 

Gio melewati kursi si nomor 25 tanpa menawarinya kue. Berhenti di sebelah Bu Collins dan Pak Benny. Menawari mereka. 

“Ma’af saya sedang diet,” tolak Bu Collins halus. 

Pak Benny mengambil satu. Tapi tidak dimakannya. 

Masih tiga jam lebih baru kita sampai di tempat tujuan pertama. Kalian berceloteh sepanjang jalan. Sibuk dengan dunia masing-masing. 

Radith melempar sebuah bola bekel ke arah si nomor 25. Luput. Bola itu menghantam kepala Ajeng. Ajeng mengamuk dan secara serampangan melempar balik. Melesat jauh menabrak kepala Rudy yang memekik kesakitan. Bola memantul di lantai. Ditangkap Diana, menyerahkannya ke Frans. Frans membuang bola tersebut melalui jendela geser bus. 

Radith mengerang. Aurora memukul kepalanya memakai bantal kecil. 

“Jaga kelakuanmu,” peringat Aurora keras. 

Mendadak Carada bertepuk tangan berusaha menarik perhatian di tengah kekacauan tersebut, “Woi! Gue punya cerita asyik nih.” Dia memulainya tanpa diminta. 

Cerita Carada cukup ampuh meredam kemarahan Ajeng dan Rudy. Mereka ikut tertawa mendengar cerita tentang tiga orang tolol yang berpetualang ke negeri China. Cerita yang tidak lucu. Apalagi Carada mengibaratkan tiga orang itu sebagai aku, Imban dan Gina. 

Omega tidak mau kalah, melanjutkan dengan bercerita mengenai kasus pembunuhan berantai. Gayanya menceritakan penuh desisan aneh. Berusaha semenegangkan mungkin, namun dia tidak sadar bahwa sebenarnya kita cekikikan melihat tingkahnya yang mirip dukun sedang beraksi. 

Aku tidak terlalu tertarik mendengarkan cerita murahan mereka dan memilih memandang keluar bus. Kondisi tersebut berlangsung berjam-jam. Akhirnya sebuah baliho menarik perhatianku. Tulisan besar ‘Milkubaya’ berwarna putih dengan latar belakang gerombolan sapi gemuk tercantum di sana. Tempat pemberhentian pertama. 

Pintu bus bagian belakang membuka. Aku melompat duluan. “Keluar satu-satu. Jangan berebut,” kataku. Sia-sia, kalian tak mendengarkanku. Anak TK saja pasti bingung melihat kalian yang saling dorong menuju pintu. 

“Tempat apa ini?” tanya Zeany. 

“Milkubaya.” Apa dia tidak melihat aku sedang sibuk mengabsen!? 

“Saya juga tahu ini Milkubaya,” cetus Zeany. “Kan ada tulisannya. Yang saya tanyakan Milkubaya itu apa?” 

Kututup buku absenku. “Lihat saja nanti! Kerjaanku sudah banyak, jangan tanya macam-macam kalau tidak mendesak!” 

Rudy mendorongku. “Jangan membentak pacarku! Apa tidak bisa ngomongnya dengan baik-baik.” 

Pacar? Jadi keduanya sudah jadian. 

“Bagus kan! Urusi sana cewekmu!” 

Frans menangkap tangan Rudy yang hampir menonjokku. 

Kelakuan manusia barbar! Rupanya tidak ada jaminan anak seorang milyuner memiliki tata krama yang cukup. Aku meninggalkan mereka. 

Micah tiba-tiba menjerit. “Hyaa… ada sapi.” 

Carada tertawa. “Micah belum pernah melihat sapi ya?” 

“Pernah tapi tidak sebanyak ini.” 

Ini kan peternakan sapi. Jelas banyak sapinya lah! 

Bu Collins mengumpulkan kami. “Oke. Kita sudah sampai di Milkubaya. Tugas kalian adalah melakukan observasi bagaimana proses pengolahan susu segar di sini. Semakin detil hasilnya semakin tinggi pula nilai yang kalian dapat. Tugasnya dikumpulkan malam ini juga. Selain itu harus saya beritahukan tugas ini mempengaruhi tiga mata pelajaran sekaligus—Biologi, Bahasa Indonesia dan Kimia. Bila kalian memasukkan beberapa informasi tentang sistem pemasarannya maka kalian akan mendapat poin lebih di mata pelajaran Ekonomi. Pintar-pintar kalian saja untuk memasukkan semua aspek yang kalian anggap penting atau menarik. Saya tidak suka hasil observasi yang dicontek dari anak lainnya, jika kalian nekat melakukannya, maka tanggung sendiri akibat terburuknya—tidak naik kelas.” 

Radith mengerang tertahan, diambilnya buku tugasnya dari tangan Micah. 

Gina mengangkat tangan. “Apa kami boleh mencicipi susu segarnya Bu?” 

“Tentu saja,” Bu Collins mengerling. “Namun kalian harus bersabar sebentar. Susunya belum disiapkan. Kalian lihat pondok di sana?” 

Ya. Pondok kayu dengan atap seng. 

“Kita akan berkumpul lagi di sana dalam waktu setengah jam dari sekarang. Jadi lakukan tugas kalian sementara susunya disiapkan.” Bu Collins melambaikan tangannya menyuruh kita bergegas. 

Sapi. Dimana-mana terlihat sapi. Aku benci sapi. Bau. Bersuara ‘mooo—‘ jelek dan memiliki tampang dungu. Makanya aku memilih duduk di bawah pohon dekat pondok. Mengamati kalian yang tertawa-tawa bersama sapi. 

Dua orang pemuda mengangkat tong kecil berisi susu segar. Menaruhnya di tengah meja panjang di pondok. Seorang ibu paruh baya menyusul membawa puluhan gelas plastik. Diaturnya gelas-gelas tadi di sekitar tong. Ketiganya meninggalkan pondok itu. 

Aku mengambil buku absen. Iseng-iseng menghitung kalian. Loh kok kurang satu orang. Dimana si nomor 25? 

“Kau mencariku?” Si nomor 25 sekonyong-konyong muncul dari belakangku. 

“Apa maksudmu ‘aku mencarimu’?” 

“Kau sedang mengabsen kan?” 

Suaranya itu. Tambah mengerikan. 

“Apa yang kau lakukan dibelakangku?” Aku mengkonfrontirnya. 

“Bukan apa-apa,” dalihnya. 

“Kau harusnya sedang mengobservasi!” 

“Sudah selesai, kalau kamu?” 

Dia menatapku. Sial, matanya menusukku. 

“Kalau begitu tunggu di pondok!” perintahku. 

Si nomor 25 mengikuti perintahku. Masuk ke dalam pondok. Dia duduk dekat tong susu. 

Setengah jam pun berlalu. Kita satu persatu berkumpul di pondok. Bu Collins dan Pak Benny tidak kelihatan batang hidungnya. 

“Mau apa kau di sini!?” Cherry mengusir si nomor 25. 
“Betul!” kata Omega. “Dari tadi aku melihat dia santai-santai saja di pondok!” 

Si nomor 25 keluar pondok sambil menggumamkan sesuatu. Tidak jelas apa yang digumamkannya. 

“Ayo kita pesta susu segar!” sorak Radith sepeninggal anak mengerikan tadi. 

Semuanya balas bersorak, mengambil gelas. Radith menuangkan susu bagai seorang bartender. 

“Jangan diminum dulu ya,” katanya. “Kita bersulang rame-rame.” 

Kita mengangkat gelas. Berseru ‘Cheers’. Meminum susu itu. 

Reaksinya luar biasa. Rasa mual langsung menjalar di perutku tanpa terkendali. Freya yang pertama muntah. Disusul yang lain. Kepalaku berputar hebat. Cherry dan Carada ambruk ke tanah. Pingsan. 

Pasti ada yang mencampur sesuatu ke susu itu. 

Pak Benny yang baru datang gelagapan melihat kita. Beliau memanggil ambulance. Kita semua segera diangkut ke rumah sakit terdekat. 

Dokter bilang kita keracunan makanan. 

Keracunan atau diracuni? 

Rasa mual itu baru reda sore harinya. Selang infus masih bertengger di tanganku selama aku menulis diary ini. 

Bencana di hari pertama darmawisata. Karena itulah aku makin menyesal tidak pergi ke Bali!

(Haya Saptayudha) 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang