Diary Hari Keduapuluh

7.2K 591 35
                                    

Hari Keduapuluh 

Pasti, pasti dan pasti. 

Pelakunya pasti si nomor 25! 

Pukul sembilan pagi kita baru diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Pak Benny memberikan dua opsi. Darmawisata dihentikan atau tetap dilanjutkan walau kondisi badan kita masih lemah. 

Kita sepakat pulang. Itu sebelum si nomor 25 yang malam tadi tidur di bus mendekati Pak Benny memberitahukan keempat ban bus kita semuanya pecah. 

Pecah 1 ban itu wajar. Pecah 2 ban, kebetulan. Pecah 3 ban, musibah. Pecah 4 ban, pasti sabotase! 

Pak Benny memberikan lagi penawaran awalnya. Kita dengan berat hati menerima kenyataan darmawisata mau tidak mau harus dilanjutkan karena busnya wajib masuk bengkel dulu. Sepertinya masalah yang dialami mobil bukan hanya pecah ban. Membuat kita bertanya-tanya bagaimana bisa si nomor 25 tak menyadari kerusakan ‘dadakan’ tersebut. 

“Sesuai jadwal kita akan berkunjung ke galeri seni,” kata Bu Collins mengumumkan. 

“Naik apa kesana Bu?” tanya Diana. 

“Jalan kaki,” jawab Bu Collins ringan. 

“Nggak mau!” protes Cherry dan Ken bersamaan. 

Bu Collins menepuk bahu Ken. “Ibu paham kalian belum kuat berjalan jauh. Tenang saja. Galeri itu jaraknya hanya dua gedung dari rumah sakit ini. Lima menit juga sampai.” 

Berjalan tidak buruk juga. Tentu saja bagi kalian yang memiliki mobil pribadi jarang bisa menghargainya. Lagipula cuaca dingin Bandung mendukung aktivitas begitu. Sepanjang jalan terus terdengar keluhan Cherry dan Ken yang tiba-tiba bisa akur kembali. Padahal selama ini selalu saling lempar kata-kata sinis. 

Teras galeri itu becek. Seorang kakek yang kemungkinan salah satu pengurus gedung galeri itu terlihat menyiram air ke tanah memakai ember kecil dan gayung kayu bergagang panjang. 

Beliau menyapa kita. “Pagi neng. Pagi jang.” 

Kita semua menjawab salam tersebut tanpa semangat memadai. 

Warna hijau mendominasi semua dinding gedung galeri. Setiap ruangan tertutup rapat. Kemungkinan besar untuk menjaga agar semua karya tidak terjamah debu. Area pertama yang kita temui saat memasuki gedung adalah area patung. Area ini penuh dengan patung (pasti), arca, ukir-ukiran baik itu ukiran di atas kayu maupun batu, dan pilar-pilar yang menjulang tinggi. 

Cherry dan Ken terpesona sekali pada sebuah patung telanjang dewa Yunani. Menjijikkan. 

Area kedua adalah wilayah abstrak. Yang dipajang di sini kebanyakan berupa benda-benda tidak beraturan. Misal kotak yang disusun melingkar diberi judul ‘Nyawa seorang gadis’. Dimana ada unsur ‘gadis’-nya? 

Kunjungan berakhir di area ketiga. Area lukisan dan fotografi. Lukisannya cukup beragam. Aku paling suka lukisan pemandangan air terjun yang dilukis seseorang berinisial T.A. 

Lalu kusadari kelakuan kalian mulai aneh. Terlihat panik namun sekaligus bersemangat. 

Baddy menarik tangan Frans, “Kau harus melihat yang satu ini.” 

Ribut sekali. Berlarian di galeri. Orang-orang bakal mengira kita tidak dididik secara benar. Pengunjung lain mengernyitkan dahi mereka melihat kalian. 

“Ayo, kau juga harus melihatnya!” Ling bercericit penuh semangat pada Aurora. 

“Melihat apa?” tanya Aurora. 

“Sesuatu.” 

Sesuatu apa? Yang kalian maksud apa? 

“Freya mana!? Freya, woi Freya.” Carada berteriak-teriak. 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang