🩵🩵🩵🩵🩵
.
.
Rainna termenung dikamarnya, pikirannya berkecamuk kacau. dirinya bimbang sekaligus bingung. Haruskah membiarkan si kembar meneruskan sekolahnya di jakarta? Bagaimana kalau ke khawatiran yang dia takutkan menjadi kenyataan.Tapi kan jakarta luas.
Tidak mungkin mereka bisa bertemu, lagian kalaupun ketemu mereka tidak akan saling kenal.
Tapi Rainna juga tak mau berpisah dari si kembar, selama ini mereka selalu bersama.
Kalau tidak dibolehkan gadis kecilnya pasti akan terus merengek dan berujung ngambek nangis bombai.
Rainna mengacak rambutnya frustasi. Dia segera menghubungi sesorang.
"Halo kak..."
"Kenapa Na.."
"Soal sikembar.."
"Soal sekolah lagi.."
"Iya, aku mesti gimana kak.."
"Izinin sajalah, biar mereka ngerasain tinggal di Indonesia.."
"Tapi kak, aku belum siap pisah sama si kembar.."
"Mereka sudah besar Na, biarkan mereka belajar mandiri dan bertanggung jawab sama pilihan mereka"
Rainna menghela nafas dalam.
"Anak memang akan selalu milik ibunya tapi suatu saat mereka akan tetap meninggalkanmu entah urusan pekerjaan atau menikah nanti.."
"Mereka masih kecil.." cicit Rainna.
"Umurmu bahkan dibawah Bintang dan langit saat melahirkan.."
Rainna mendengus sebal. "Biar aku pikirkan lagi kak.."
Rainna mengambil sebuah photo jadul yang terletak dilaci paling bawah. Sebuah photo usang memperlihatkan dua bocah sedang tersenyum ke arah kemera.
Mereka terlihat polos dan bahagia sebelum perpisahan itu terjadi. Mata Rainna menutup sejenak mengingat kata-kata yang sangat menyakitnya dulu.
"Kita sudah punya jalan sendiri-sendiri, semoga tetap seperti ini dan aku harap kamu tidak akan pernah bertemu dengan anak-anak ku"
*****
Pulang kerja Rainna disambut Bintang yang kembali merengek.
"Mama boleh ya ma..."
Rainna memijit kepalanya yang terasa pusing akibat rengekan putrinya yang sudah seminggu ini gencar memulai aksinya.
"Mama dengerin aku gak sih!" Gerutu Bintang dengan wajah cemberut menggemaskan.
"Dengar..."
"Kok gak jawab kalau dengar"