Bab 2

4 2 3
                                    

Minimnya pengetahuan agama, membuat Fadhil mudah terhasut akan kenikmatan dunia. Sesuatu yang dirasa menyenangkan itulah yang akan ia lakukan. Tidak memikirkan lagi kehidupan akhirat. Apakah yang dilakukan menyalahi aturan agama atau tidak. Semua tak terpikirkan.

“Hidup itu hanya sekali, jadi harus dinikmati,” kata itulah yang sering dilontarkannya ketika sang ayah menyuruh agar meninggalkan minuman haram tersebut.

Haidar terlalu sibuk akan pekerjaan, sampai tak punya waktu untuk mengawasi anaknya yang kini terbiasa dengan minuman beralkohol. Otaknya hanya diisi dengan kecerdasan bisnis, uang, kemenangan, kesuksesan dan segala hal yang sifatnya duniawi.

“Maafkan aku Alesha, karena tidak bisa mendidik putra kita dengan benar,” sesalnya.

Di ruang kerja, Haidar menangis. Memandang foto almarhumah istrinya. Cinta sejatilah yang membuat ia tak bisa berpaling dari sang wanita tercinta, setelah kematian 8 tahun yang lalu.

Waktu itu, Fadhil masih berusia 17 tahun. Alesha mengalami serangan jantung yang membuat nyawanya tak tertolong lagi. Sejak dahulu, mereka memang terbiasa dengan kehidupan bebas. Tanpa ada aturan yang mengikat. Ia dan sang istri adalah seseorang yang sangat ambisius akan bisnis. Sehingga tidak terlalu memperhatikan kehidupan putranya, selagi tidak mempermalukan keluarga. Maka apa yang diperbuat tidaklah masalah.

“Sekarang aku sangat menyesal. Fadhil sudah dewasa, sangat sulit untuk mendidiknya lagi. Citra keluarga yang sejak dulu aku jaga, kini telah tercoreng,” ucapnya pilu.

Sudah tak ada guna untuk menyesali sesuatu yang telah terjadi. Wibawanya telah hilang ketika diketahui sang anak sering Mabuk-mabukkan.

Fadhil tumbuh menjadi sosok yang nakal. Semua keinginannya selalu terpenuhi. Harta berlimpah yang dimiliki membuatnya bisa melakukan apapun dengan kekayaan.

Ia sering menyakiti para perempuan lewat perasaan ketika telah bosan menjalin sebuah hubungan. Sekali-kali tidak pernah serius, niatnya hanya untuk mempermainkan dan bersenang-senang. Sekarang ia malah terobsesi untuk mendapatkan Naina.

Pertama kali, ada perempuan yang tidak terpana melihat ketampanannya, dan ini cukup menantang bagi seorang Fadhil.

“Dalam waktu dekat ini. Aku pasti sudah bisa menjadikan Naina pacarku,” ucapnya sambil berbaring dengan telepon di telinga.

“Kok aku gak yakin, ya?” Suara Daffa terdengar kurang jelas, karena musik nyaring mendominasi. Sudah bisa dipastikan kalau tengah ada di kelab.

“Satu hari, kamu hanya tau namanya. Itupun bukan dia yang memperkenalkan diri. Tapi hanya kebetulan saja tau dari seorang satpam,” kekehnya mengejek.

Fadhil menahan amarah. Sungguh, sebuah penghinaan untuknya.

“Akan aku buktikan. Naina bakalan jadi pacarku,” tegasnya.

Semangat membara tumbuh. Ia telah bertekad agar bisa menjadikan Naina kekasihnya. Apapun itu, pasti akan dilakukan. Sekali pun dengan cara yang tidak baik.

“Wow, baru kali ini kamu begitu serius meladeni seorang perempuan.” Di seberang sana Daffa tertawa. Menyudutkan Fadhil yang tidak biasa bersikap seperti ini.

“Sudahlah, tidak perlu bahas dia lagi. Aku ngantuk, mau tidur," ujarnya, sambil menarik selimut.

“Tumben, gak minum. Ayo ke kelab dulu, kita senang-senang.”

Ia menghembuskan nafasnya. “Untuk malam ini, tidak. Aku mau fokus buat mendapatkan Naina.” Dirinya tersenyum. Mematikan sambungan telepon secara sepihak. Membayangkan wajah ayu yang terlihat sopan tapi juga sedikit tegas.

Ketika Cinta BerbisikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang