Bab 5 Penolakan

2 2 2
                                    

Orang-orang mulai berhamburan keluar dari masjid. Shalat telah usai. Fadhil menunggu Naina dengan bersandar di mobil. Sebuah pemikiran terlintas, sudut bibir itu kemudian menyunggingkan senyum.

Wafa terlihat keluar dari masjid, ia segera melambaikan tangan kepadanya. Remaja yang masih labil itu lekas menghampiri. Kebetulan Naina masih di dalam masjid. Kesempatan itupun tak disia-siakan.

“Nanti, kalau aku ke toilet, ajak Naina masuk ke dalam masjid, setelah itu tinggalkan kami,” bisik Fadhil.

“Untuk apa?”

“Tidak usah banyak tanya, lakukan saja. Nih.” Fadhil mengeluarkan uang dari saku celana untuk membuat perempuan itu menurut.

“Siap.” Langsung saja ia menyetujui tanpa berpikir panjang lagi.

Naina baru saja keluar dari masjid. Posisi Wafa yang membelakangi, membuatnya tidak menyadari kalau tengah terjadi persengkokolan.

Ketika Naina telah berada di hadapan mereka, Fadhil segera pamit, pura-pura kebelat. Padahal cara itu hanya untuk mengulur waktu, agar tidak ada orang lagi di dalam masjid.

Sesuai yang diperintahkan. Gadis remaja itupun menarik tangan Naina masuk kembali ke dalam masjid.

“Gelang aku kayaknya jatuh di dalam masjid, deh,” alibinya.

“Tolong bantu cari ya, Kak.”

Naina menurut saja. Ia tak curiga sedikitpun. Sedangkan Fadhil yang menuju toilet, segera membelokkan arah, memperhatikannya dari kejauhan, ketika dirasa sudah tidak ada orang lagi, barulah ia masuk ke dalam masjid.

"Naina," panggilnya semakin mendekat.

Wafa segera menjauh. Ia berdiri di pojok ruangan. Gadis remaja itu terus memandang, karena penasaran akan apa yang dilakukannya.

"Iya, kenapa?" Ia mundur satu langkah, ketika dirasa jarak antara mereka begitu dekat.

Seperti di film-film, Fadhil berjongkok dihadapan Naina. Membuat mata bulat itu terlunjak kaget. Dia tak pernah diperlakukan seperti ini.

"Sejak awal melihatku, hatiku berdesir. Terlintas sebuah keinginan untuk selalu dekat denganmu. Dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun, aku selalu saja kepikiran. Wajahmu membayangi setiap ruang imajinasiku."

"Naina, kamu adalah perempuan yang membuatku terpesona dan hati ini seakan terikat olehmu. Wajahmu tidak bisa enyah dari pikiranku. Kamu adalah perempuan yang berhasil menempati sisi hatiku yang terdalam."

Mendengar perkataan Fadhil, Naina menegang, mencoba mencerna dengan baik.

“Saat bersamamu, dunia ini seperti milik kita berdua. Sepanjang waktu, aku terus berusaha memahami perasaan ini, hingga aku temukan satu jawabannya, jika diriku telah jatuh cinta kepadamu.”

Detak jantung yang tadi berjalan normal seketika tak beraturan.

"Naina, apakah kamu mau menjadi pacarku?"

Perempuan berusia 25 tahun itu bergeming, dia sangat syok akan apa yang dikatakan. Jika Abinya tau, maka pasti akan marah besar.

Fadhil mengajaknya pacaran? Padahal Rahman begitu melarang Naina untuk pacaran, karena baginya hanya akan membawa kemodharatan.

Dan sekarang ia sangat marah dengan sikap Fadhil, bisa-bisanya mengatakan ajakan itu di dalam masjid. Di dalam rumah Allah.

Astagfirullah!

Ia memejamkan mata, mencoba menahan gejolak amarah.

“Naina, aku janji. Jika kamu menjadi pacarku, maka apapun yang kamu mau pasti akan aku penuhi. Aku berjanji akan memberikanmu cincin berlian sebagai bentuk seorang kekasih pujaan hati." Ia tersenyum dengan sangat indah. Wafa yang memperhatikan sampai meremas-remas ujung kerudung. Begitu terpana dan terpukau. Gadis remaja itu bertolak belakang dengan pemikiran Naina.

Ketika Cinta BerbisikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang