Bab 6 Amarah

3 2 3
                                    

Di sebuah rumah besar megah dan mewah dengan hiasan cat berwarna putih, keributan kembali terjadi. Haidar yang baru saja pulang dari Bogor beberapa jam yang lalu. Mempunyai inisiatif untuk menggeledah kamar Fadhil.

Emosi tak terkendali lagi, ketika ditemukan minuman keras di dalam pot besar yang diisi oleh bunga palsu, terletak di dekat pintu balkon yang hanya sebagai hiasan. Wajahnya memerah. Para pembantu yang ikut disuruh menggeledah sampai harus terkejut dan takut bersamaan. Ketika suara hantaman botol itu begitu memekakkan gendang telinga.

“Keterlaluan kamu Fadhil. Sejauh ini rupanya kamu masih juga belum berubah,” marahnya.

Kamar yang tadi tertata rapi, menjadi berantakan, dengan beling-beling yang berserakan. Semua minuman keras itu ia hempaskan, dihancurkan dengan emosi yang meledak-ledak.

Fadhil yang baru saja pulang, bergegas ke kamar ketika mendengar suara keras.

Ia terkejut, melihat Haidar menghancurkan semua minumannya.

“Pah, apa-apaan ini,” teriaknya di ambang pintu. Dua manusia yang sama keras kepala dan tidak bisa menahan emosi itu saling bertatapan dengan mata yang tajam.

“Baguslah, kalau kamu sudah pulang, biar melihat bagaimana saya menghancurkan minuman ini!” Haidar melempar botol itu tepat dihadapan Fadhil. Menghasilkan bunyi keras seiring dengan pecahan botol kaca tersebut. Seluruh isinya tumpah, hingga mengenai tempat ia berpijak.

Tangan itu mengepal, dadanya kembang kempis, menyorot ke arah Haidar.

“Kenapa? Kamu mau marah?” teriaknya.

Fadhil membuang pandangan. Bukan karena tak berani, tapi ia telah berjanji pada pesan alhumamah ibunya.

“Fadhil, jika nanti Ibu sudah tidak ada. Ibu mohon, tolong jangan melawan Papa. Seberapa marahnya kamu sama dia, berjanjilah jika secuil pun kamu tidak akan menyakitinya. Jangan sampai kekerasan terjadi lagi, Ibu tidak menginginkan kalau kamu melukai Papa.”

Alesha berbicara dengan sangat pelan. Haidar menangis begitupun dengan Fadhil yang memeluk ibunya.

“Ibu jangan bilang begitu. Ibu pasti bisa pulih kembali.”

“Berjanjilah Fadhil. Kamu tidak akan pernah lagi melukai Papa.” Alesha menitikkan air mata. Dia begitu terluka ketika anak yang berusia tujuh belas tahun itu memukul sang ayah sampai sudut bibirnya berdarah dan bengkak.

Semua bermula, ketika Haidar marah akan kelakuan Fadhil yang melakukan tawuran antar sekolah. Nama baiknya menjadi diolok orang karena perilaku buruk tersebut.

Di depan mata Alesha, anak dan ayah itu saling berkelahi. Saat itu juga ia terkena serangan jantung. Berulang kali berusaha meneriaki Fadhil untuk berhenti memukul ayahnya yang sudah jatuh ke lantai. Tapi, Dirinya begitu dikuasai oleh kemarahan hingga tak mempedulikan. Baru ketika ia jatuh pingsan, Fadhil berhenti melakukan aksinya dan segera membawa ke rumah sakit dengan rasa teramat bersalah.

“Berjanjilah Fadhil, berjanjilah,” lirih Alesha.

Ia menggenggam erat tangan sang ibu. “Aku berjanji, Bu. Tidak akan melukai Papa lagi,” ujarnya berlinang air mata.

Alesha mengangguk dan tersenyum, kemudian menyuruh Fadhil keluar, untuk berbicara dengan suaminya secara empat mata.

Ketika Cinta BerbisikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang