Bab 10 Persyaratan dari Rahman

1 1 0
                                    

Seorang OB menemui dirinya dan berdiri dihadapan Fadhil dengan wajah yang sangat takut.

“Maaf, Pak,” ucapnya lemah.

“Kamu saya pecat,” putus Fadhil, sesuka hati.

Rahman yang memperhatikan itupun menggeleng dan segera menghampiri.

“Sekarang sudah jelas, siapa yang tidak bisa profesional, saya ... .” tunjuknya pada diri sendiri, ”atau ... kamu.” Rahman menunjuk ke arah Fadhil yang menggertakkan giginya dengan geram.

Sialan!

Ia kalah telak dengan Rahman sampai mulut itu tak mampu berucap lagi. Fadhil hanya bisa memperhatikan dirinya yang pergi. Amarah benar-benar merasuk ke dalam hati, tapi tak bisa dilampiaskan.

“Pak, jangan pecat saya,” mohon OB itu yang masih ada di sana.

“Kerja yang benar kalau tidak mau dipecat, sana. kerja lagi,” perintahnya yang segera dituruti.

“Kalian semua bubar!” teriaknya dengan tajam, para karyawan yang tadi memperhatikan pun langsung kembali fokus pada pekerjaan.

***

Rahman masuk ke ruang kerja, mengerjakan semua tugasnya dengan serius. Ia tak terlalu memikirkan akan persoalan Fadhil. Berjam-jam mengutak-atik laptopnya dengan kacamata tebal menempel di atas hidung.

Di tengah kefokusannya bekerja, tiba-tiba terdapat panggilan dari Pak Haidar untuk segera ke ruangannya.

“Ada apa, ya, kenapa Pak Haidar memanggil saya?” bingungnya, tapi tidak ingin terlalu berpikir jauh, daripada menduga-duga yang tidak, lebih baik segera menemuinya, seperti apa yang diperintahkan.

Ia keluar dari ruang kerja. Masuk ke dalam lift untuk menuju lantai atas, dimana tempat Haidar berada.

Setelah pintu lift terbuka, ia pun menelusuri setiap ruangan, hingga tiba di depan ruangan Haidar. Di sana disambut oleh sekretarisnya, kemudian Rahman dipersilakan masuk ke dalam setelah mendapat persetujuan.

“Duduklah,” titahnya pada pak Rahman, menepuk bagian sofa yang berada di sampingnya, di dalam ruangan itu memang tersedia berbagai macam fasilitas, seperti sebuah sofa yang sangat empuk tersebut.

“Ada hal penting yang ingin saya bicarakan kepada Pak Rahman,” ujar Haidar dengan serius, menatap Rahman yang juga menatapnya penuh penasaran.

“Katakanlah,” balasnya dengan lembut.

“Begini, Pak Rahman. Saya ingin Bapak merubah sikap Fadhil. Jujur, saya sudah tidak bisa lagi untuk mendidiknya, dia sangat susah diatur, terlebih diri saya juga tak begitu paham tentang agama. Apa Pak Rahman bisa melakukan itu?” Rahman terdiam, dia seperti menimang-nimang akan hal tersebut.

“Saya mohon, Pak. tolong bantu saya untuk merubah Fadhil. Apapun yang Pak Rahman mau akan saya berikan. Asalkan Fadhil bisa berubah. Saya sudah lelah dengan sikapnya. Selama ini, diam-diam ia masih saja mengkonsumsi minuman keras,” sambungnya dengan pilu.

Melihat bagaimana terpukulnya Haidar, Rahman jadi tak tega. Ia menggenggam tangan itu. Menjadi seorang ayah memang sangat berat, selain berusaha memberikan nafkah, tapi juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak dengan benar untuk membentuk karakter dan akhlak yang baik bagi anak. Meski telah terlambat, tapi Haidar akan terus mencoba, sampai berhasil. Setidaknya ia sudah berjuang untuk membuat Fadhil hijrah, agar rasa salah dapat berkurang.

“Ketika tau dirinya menyukai Naina, putri Pak Rahman. Saya seketika memiliki harapan agar Fadhil mau berubah dengan sendirinya. Saya mohon, Pak Rahman, tolong bantu saya,” lirihnya, terus membujuk.

Ketika Cinta BerbisikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang