Bab 3 Larangan Abi

4 2 3
                                    

Naina menoleh ke arahnya. "Abi itu dalam bahasa arab artinya ayah."

Baru kemudian Fadhil menganggukkan kepala, berasa menjadi bodoh, karena hal sepele ini saja ia tak tau.

"Kita dinnernya diam-diam. Jadi abimu tidak akan tahu," bujuk Fadhil lagi.

Biasanya perempuan lain akan senang sekali ketika di ajak dinner. Apalagi kalau dibelikan barang-barang mewah, mereka pasti langsung memeluk dan mengatakan jika dirinya makin sayang kepada sang kekasih.

"Iya, abi memang tidak akan tau, tapi Allah tau kalau aku tidak mematuhi perkataannya."

Fadhil tertawa, "Kamu itu terlalu Fanatik. Lebih baik nikmati hidup ini. Buat apa harus mengikuti sama aturan."

Naina berhenti. Mereka sudah keluar dari pasar dan telah berada di pinggir jalan. Hingar-bingar kendaraan berlalu lalang, mengisi gendang telinga.

"Manusia diciptakan untuk menghamba kepada-Nya. Apa yang dilakukan perlu yang namanya sebuah aturan. Perbuatan kita di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Dunia ini bukan hanya untuk mencari kesenangan sesaat, melainkan tempat untuk meraih pahala agar bisa masuk ke dalam surga-Nya yang kekal abadi."

Ia kemudian mengambil barang belanjaan dari tangan Fadhil. Sedangkan dirinya mematung di tempat, memperhatikan wajah perempuan itu dari dekat. Ada desir hangat menyusup di dalam hati.

"Assalamu'alaikum," salam Naina lalu berjalan menjauh.

"Wa-wa'alaikumsalam." balas Fadhil agak kesulitan, karena sangat jarang mengucapkannya.

Tak sampai di situ, dia kemudian bergegas masuk ke dalam mobil, mengikuti Naina pulang. Sepanjang jalan dirinya terus tersenyum. Wajah gadis itu memenuhi setiap ruang imajinasi. Suara yang lembut membuatnya terhipnotis.

"Ada apa denganku?" Ia mengusap mukanya dengan kasar.

Ketika Naina telah turun dari taksi. Fadhil menurunkan kaca jendala mobil dan memberikan klakson. Mata bulat dan lentik itu menoleh ke arahnya dengan keterkejutan.

"Aku senang bertemu denganmu. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi," ujarnya lalu meleset pergi. Kebetulan rumahnya searah dengan jalan yang dilewati.

Naina menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian masuk. Rupanya, orang yang begitu sangat dekat dan dikenal, tengah menyambut kedatangannya di ambang pintu.

"Abi." Naina menghampiri, lalu menyalami tangan pria yang sudah berusia kepala empat.

"Jauhi Fadhil. Abi tidak suka kamu dekat dengannya. Dia bukan Laki-laki baik," katanya to the point.

Naina mengerutkan alis.

"Abi kenal sama Fadhil?"

"Iya, Abi kenal. Pokoknya, kamu turuti saja apa yang Abi katakan. Anak itu sangat nakal dan suka mabuk-mabukkan," jelas Rahman-Abi Naina. "Kamu kenal dia dari mana?"

Ia penasaran, mengapa putrinya bisa bertemu Fadhil. Padahal Rahman tak pernah memperkenalkan dan tidak menginginkan dia dekat dengan Naina. Lelaki itu pasti punya niat buruk untuk mendekati putri tersayangnya, mengingat banyak kabar yang berseliweran tentang ia yang suka mempermainkan perempuan.

"Beberapa hari yang lalu, aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah restoran. Tiba-tiba saja dia mengajak kenalan, tapi tak aku ladenin dan baru hari ini kita bertemu lagi di pasar." Naina menjelaskannya dengan jujur, menatap Rahman yang juga memberikan tatapan intens.

"Abi percaya, kamu tidak mungkin mudah terpengaruh dengan dirinya. Ingat, jika dia macem-macem, bilang sama Abi." Rahman menuntun putrinya masuk.

Mereka berjalan ke arah dapur. Naina meletakkan belanjaannya ke atas meja, lalu menyusun satu persatu ke dalam kulkas.

Ketika Cinta BerbisikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang