06. Siapa gadis itu?

557 50 2
                                    

Terkadang dalam hidup, sesekali kita perlu merasakan yang namanya jatuh cinta


(Maaf, jangan salfok sama tangannya)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Maaf, jangan salfok sama tangannya)

Di apartemen yang sunyi, Biru terdiam, termenung di sofa, menyelami kembali kata-kata Mima yang menggema dalam benaknya. Sejak kecil, orang tuanya lebih sering menjadi bayang-bayang jauh, tak pernah benar-benar hadir di sisinya. Hanya Baba dan Mima yang setia menemani langkah kecilnya, merawat luka dan sepi yang sering tak terlihat. Walau Mima selalu meyakinkannya bahwa segala yang dilakukan orang tuanya adalah demi dirinya, hati Biru tetap tak tersentuh. Ia tak meminta banyak, hanya waktu mereka—sejenak, cukup sekali saja—untuk menemaninya dalam kesendirian. Apakah permintaan itu begitu sulit untuk dipenuhi?

Biru menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan kota di malam hari, berkilauan dengan cahaya namun terasa begitu dingin. Di hatinya, ada kerinduan yang tak pernah ia ucapkan, sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh apapun selain kehadiran yang tak pernah ia miliki. Ia bertanya-tanya, apa arti semua pencapaian dan kesibukan orang tuanya jika pada akhirnya meninggalkan ruang kosong dalam hidupnya?

Baginya, waktu adalah anugerah paling berharga yang bisa diberikan, namun setiap detik yang terlewat tanpa mereka hanya menambah kedalaman kesepian yang selama ini ia sembunyikan. Mungkin bagi mereka, ia hanyalah satu bagian kecil dalam dunia yang luas, namun bagi Biru, dunia terasa pincang tanpa kehadiran mereka di sampingnya.

☆☆☆

D

i malam yang sunyi, angin sepoi-sepoi berbisik di sekitar balkon kamar gadis itu. Dengan berani, ia duduk di kursi kayu, menyelipkan kuas ke dalam palet warna yang berderet rapi di atas meja kecilnya. Sambil mengangkat kuas, ia membiarkan warna-warna itu mengalir ke atas kanvas putih yang terbentang di hadapannya.

Sesekali, pandangannya terangkat dari kanvas yang mulai menghidupkan imajinasinya. Matanya memandang ke langit malam yang luas, penuh dengan gemerlap bintang yang menghiasi kegelapan. Seakan mencari inspirasi dari sana, gadis itu terdiam sejenak, membiarkan keindahan langit malam meresap ke dalam jiwanya.

Tangannya yang gesit dengan cermat menciptakan garis dan bayangan, menangkap kilau bintang-bintang yang jauh di kejauhan. Di antara suara gemercik angin, terdengar lembut goresan kuasnya yang mengisi ruang kosong kanvas dengan warna-warna yang terpilih.

Pemandangan ini mencerminkan keintiman antara penciptaan dan alam semesta, antara keheningan malam dan kehidupan yang bersemangat di atas kanvas putih. Gadis itu merasakan kehadiran langit malam sebagai sumber inspirasi yang tak pernah habis, sambil melanjutkan perjalanan artistiknya dengan tekun dan penuh perasaan.

Tiba-tiba, dalam keheningan malam yang hanya dipecahkan oleh suara kuas yang bergerak di atas kanvas, wajah seseorang muncul dalam benak gadis itu. Dia merasakan getaran yang hangat di dalam dada, suatu kehadiran yang selalu mengisi ruang pikirannya belakangan ini. Dengan mata terpejam, gadis itu membiarkan perasaannya mengalir bebas.

Astrophile ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang