Prolog..

7.4K 474 133
                                    

بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Assalamu'alaikum semuanya..
Alhamdulillah kita berjumpa kembali☺🥰

Jangan lupa follow, vote & komen ya..

  “Bun, boleh ngga kalo Meera ngga usah nikah aja?” ucap gadis berusia dua puluh tiga tahun dengan wajah lesu, boneka sapi ia gunakan sebagai bantal kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 
“Bun, boleh ngga kalo Meera ngga usah nikah aja?” ucap gadis berusia dua puluh tiga tahun dengan wajah lesu, boneka sapi ia gunakan sebagai bantal kepalanya. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai

Bunda hanya tersenyum, tangannya yang lembut terulur merapikan anak rambut Meera yang menutupi wajah cantiknya “Kamu udah sering ngomongin soal ini, memang kenapa ngga mau menikah?”

Meera mendesah lesu saat mendengar Bunda nya sekali lagi bertanya soal kenapa sangat tidak mau menikah. Perempuan itu akhirnya menyamakan posisi duduknya dengan sedikit menundukkan wajah. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya perempuan itu berbicara seperti ini, seolah-olah Menikah itu sangat menakutkan

“Ngga tau, Meera hanya takut aja”

Bunda mengerutkan dahi, ucapan Meera barusan membuatnya langsung dapat menebak bahwa sepertinya ada sesuatu yang membuat anaknya menjadi takut, atau mungkin sebuah Trauma di masa lalunya. “Ada apa Meera? Cerita sama bunda”

Gadis itu hanya menggeleng “Meera sedikit Trauma” sebelum melanjutkan kalimatnya, gadis itu menarik napas pelan. “Trauma is scary. Gimana kalo kejadian itu terulang lagi? Gimana kalo ternyata aku hanya di manfaatkan lagi? Gimana kalo ternyata dia menerima aku hanya karena kasihan lagi? Gimana..”

Belum, gadis itu belum selesai menjelaskan, Bunda Hana langsung menarik tangan Meera dan langsung memeluk tubuh anaknya itu dengan lembut, dada Meera terlalu sesak kalau harus mengingat kejadian itu, napasnya tercekat, pasokan udara yang masuk ke rongga dadanya menipis, ia kesulitan untuk menarik udara dengan benar.

Ia sudah menduga bahwa ini memang ada yang tidak benar. Mendengar napas Meera yang tersedat, Bunda merenggangkan pelukan mereka agar Meera bisa mendapat ruang lebih. Tangannya bergerak mengusap permukaan pipi Meera, menghapus jejak air mata yang membasahi wajah anak perempuannya itu sembari menatap matanya dengan lembut

“Ternyata luka kamu masih belum kering, ya? Bunda ngga menyangka kalo kamu bakal separah ini terluka, Bunda ngga menyangka bahwa cinta bikin kamu menjadi sekacau ini, tapi satu hal bunda minta sama kamu, tolong berhenti berpikir bahwa ngga semua laki-laki yang datang ke kehidupan kamu akan menyakiti kamu, Ngga, Nak, ngga semuanya”

“Tapi, Bun..”

“Cerita sama bunda ya?” ia berusaha membuatnya merasa nyaman menceritakan semua yang wanita itu sembunyikan dalam kepala. Meski sebenarnya yang ia lihat hanyalah pancaran mata ketakutan diselingi kekalutan


********


Satu minggu kemudian.

Apa yang lebih menyakitkan dari fakta bahwa seseorang yang tulus biasanya berakhir dengan mati rasa?

Trauma itu di ibaratkan selamat dari kecelakaan, Namun cacat seumur hidup. Perumpamaan yang sangat sakit. Hidup dengan bayang bayang Trauma membuat seseorang takut untuk memulai sesuatu yang baru.

Selain rasa Trauma yang membelenggu, ada rasa takut dari lubuk hati Meera jika nanti ia tidak menemukan orang yang mau dengannya, maksudnya, ia selalu merasa bahwa tidak pantas menjadi milik siapapun.

Perjodohan yang sudah di rencanakan orang tuanya membuat Meera malas, alasan alasan seperti waktu itu pun sudah sering ia berikan, namun, nihil, perjodohan itu akan tetap di lanjutkan tanpa persetujuan darinya. Namun, jawaban yang ia berikan tidak sepenuhnya salah, tidak sepenuhnya alasan belaka baginya.

“Apa sebaiknya kita pertemukan dulu kedua belah pihak? biarkan mereka saling mengenal dulu”

“Ngga perlu, Abi sudah sangat yakin dengan keputusan ini, mereka dari keluarga baik-baik Bun”

Wanita dengan setelan Gamis berwarna cream senada hanya menghela napas pelan, kemudian menaruh teh hangat yang ia bawa pada meja “Tanya baik baik sama Meera, anaknya mau ngga”

“Meera, kesini dulu Nak, Abi mau ngomong sebentar”

Meera mengernyit heran, tapi perempuan itu dengan patuh berjalan menuju kursi dengan meninggalkan rutinitasnya di dapur yang membuat gadis itu sangat sibuk pagi ini

“Kenapa, Bi?”

Abi terlihat menarik napas cukup dalam, sebuah gerakan yang membuat Meera cukup was-was. Bagaimana jika kali ini mereka akan menanyakan hal itu lagi? Ia akan memberikan jawaban apa?

Meera menelan ludah susah payah.

Tangannya mulai berkeringat tidak nyaman, otaknya ia putar sekuat tenaga untuk menemukan alasan yang membuat kedua orang tuanya itu berhenti atau bahkan membatalkan perjodohan itu

“Abi tahu, untuk soal perasaan Abi ngga bisa ikut campur, tapi Abi tahu betul bahwa keluarga Buya Hamid itu keluarga baik-baik Nak, Abi juga ngga bakal sembarangan pilih orang untuk menjadi pendamping kamu. Mau ya?” Abi zidan menyeka kalimatnya, ia beralih memegang tangan Meera yang sudah dingin dan mengelusnya lembut, namun sepertinya kalimat ini menjadi kalimat penutup perbincangan pagi ini “Abi sudah menentukan tanggal lamaran kalian”

Aku terkejut bukan main, Tanggal lamaran? Bukankah aku sama sekali belum mengiyakan permintaan mereka?

Bunda Hana meringis pelan, perempuan cantik itu mengelus pundak anak kesayangannya itu agar Meera merasa tenang

“Namanya Azzam, satu minggu lalu dia baru saja pulang dari Tarim, dan dia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Tarim, umurnya kira-kira tiga tahun di atas kamu. Anak kedua Buya Hamid dan Nyai Hanum”

Meera bingung harus menjawab apa, mulut ia kelu

“Mau ya?”

Sudah tidak bisa menolak lagi. Pikir Meera, kemudian  ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Alhamdulilah..”

Ternyata mau sekuat apapun Meera membela, sekeras apapun ia menolak, tetap saja, pada akhirnya ia kalah, ia tidak bisa membela kemauannya sendiri











🦋🦋🦋🦋🦋🦋

––Januari, 2025

ZAMEERA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang