Prolog

14.9K 677 24
                                    

Pusing. Itu adalah hal pertama yang dia rasakan saat terbangun dari tidurnya yang terasa begitu singkat.

Tangannya terangkat untuk menyentuh dahinya yang terus berdenyut kesakitan sejak mimpi itu mendatanginya, setiap malam menjelang dan berulang-ulang, semenjak lima bulan yang lalu.

Dia sama sekali tidak mengerti akan potongan-potongan gambar kabur yang selalu ada dalam mimpinya, tidak menunjukkan secara jelas wujud seseorang yang selalu berkeliaran dalam mimpinya tanpa permisi.

Tiba-tiba alis seseorang itu sedikit mengerut dan bibirnya terkulum dalam jalinan rapat untuk menahan ringisan yang hendak keluar dari mulutnya.

Kilasan mimpi segera melintas cepat di kepalanya secara bergantian, menampilkan dua anak laki-laki berbeda umur dengan seorang anak perempuan berlari-larian di sebuah taman yang teduh akibat banyaknya pepohonan, sepasang laki-laki dan perempuan dewasa yang duduk berdampingan sambil tersenyum dan seorang perempuan lain yang berdiri dengan kamera tergenggam ditangannya untuk memotret tiga anak itu.

Dia kembali menekan dahinya yang berdenyut ketika kilasan mimpi itu berganti menampilkan seraut wajah anak laki-laki yang sudah berumur sekitar 10 tahun berlari menghampirinya dengan senyum lebar dan mata berbinar ceria khas anak kecil yang mengajak bermain, saat itu dia dapat merasakan hatinya menghangat ketika anak laki-laki itu segera menggenggam tangannya dan mengajaknya berlari ke suatu tempat untuk bermain lebih bebas.

"Kejar aku kalau kau bisa, Em!" ucap anak laki-laki itu tiba-tiba melepaskan tangannya.

Anak laki-laki itu tampak tertawa senang dan berlari cepat meninggalkan anak perempuan itu dengan sengaja.

"Wayne, tunggu aku!"

Anak laki-laki itu tetap tertawa sambil mengucapkan berbagai ejekan khas anak kecil yang membuat anak perempuan itu kesal, tanpa sadar dia mulai mempercepat larinya mendekati anak laki-laki itu.

"Tertangkap!" seru Em menubruk punggung anak laki-laki itu dengan tangan melingkari leher. Sebuah senyum jahil terukir di bibirnya. "Kau kalah, Wayne~"

"Ah, menyebalkan, lepaskan aku, Em!"

Em tertawa puas dan akhirnya melepaskan tangannya dari leher anak laki-laki itu. "Aku tidak payah kan, Wayne?"

Tidak dijawab.

"Wayne?"

Wajah anak laki-laki itu tampak mengerut kesal saat menjawab pertanyaan Em. "Iya, iya, kau tidak payah."

Anak perempuan itu tersenyum lebar lalu mengecup pipi anak laki-laki itu. "Jangan marah ya, Wayne?"

Kilasan mimpi itu terpotong dan digantikan dengan sepasang jari kelingking kecil saling terkait, membentuk sebuah janji yang terucap dari masing-masing mulut mereka. Seorang anak perempuan terlihat seperti habis menangis sedangkan seorang anak laki-laki yang berada dihadapannya terlihat menampilkan senyum lebar untuk menenangkannya.

"Kita pasti akan bertemu lagi, Em," ucap anak laki-laki itu memeluknya.

Em terisak dan mengusap matanya. "Kau janji?"

"Ya, aku janji," ujarnya melepas pelukan. "Jangan lupakan aku ya?"

Anak perempuan itu mengangguk. "Kau juga...."

"Pasti. Dah, Em~"

Berhenti. Hanya sampai disitu saja mimpi itu menunjukkan dirinya setiap hari.

Pada akhirnya dia akan terbangun dengan napas terengah seperti sehabis menyelesaikan lari maraton dan kemudian melanjutkan aktivitasnya seperti biasa-menyapu dan menonton TV.

Tapi kali ini berbeda.

Dia akhirnya dapat melihat wujud kabur dari mimpinya tersebut dan menyadari bahwa dia harus segera menemukannya. Dia dapat merasakan pusing di kepalanya terganti dengan gelenyar aneh di dadanya.

Dia harus menemukannya.

Anak laki-laki itu.

Wayne Thompson.

~°~°~°~°~°~°~°~°~°

Hai, makasih sudah mampir untuk membaca cerita ini...

cerita ini berasal dari request dan ide rahelnathania, berpusat pada Emily sahabat Allison di 'A werewolf girl' dan satu tokoh lain yang belum dimunculkan.

Maaf karena chapter ini masih terlalu pendek... berkenan vomment?

Unlucky mateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang