Didan bermain kerikil. Dia melempar beberapa bebatuan kecil itu ke tengah-tengah riak air danau. Dia girang ketika ada bunyi kecipak yang timbul karena benturan batu dan air. Demi apa pun, dia tidak pernah tahu bahwa melakukan hal sesederhana ini ternyata begitu menyenangkan.
"Didan!"
Seruan Bintang membuat Didan sigap menoleh. Dia bergeming saat langkah-langkah menghentak itu kian mendekat padanya dan dalam hitungan detik wajah geram Bintang sudah ia proyeksi seutuhnya.
"Lo kenapa main kabur aja, sih?!"
Didan refleks melindungi wajah saat Bintang mencekal kerah piyamanya, serta-merta membuat Bintang urung melanjutkan amukannya dan berubah jadi mundur teratur.
"Ma-maaf."
Didan memohon dengan suara sarat ketakutan. Dia tiba-tiba berlutut, lalu memegangi bagian atas kepalanya—seperti menjadikan kedua tangan kurusnya sebagai tameng.
"Ja-jangan tendang aku, Mas."
Bintang mengerjap, lantas memahami seberapa besar trauma yang diciptakan orang tuanya untuk Didan?
"Kepala lo pernah ditendang?"
Saat merasa atmosfer sudah membaik dan Bintang pun tak akan membahayakannya, Didan pun mendongak, baru mengangguk pelan.
"Kenapa nggak lo lawan aja?"
Didan menggeleng, "Aku masih kecil pas itu. Sepuluh tahun," katanya sembari mengacungkan semua jari tangannya.
Bintang mengesah, ada helaan napas berat setelahnya, "Berdiri lo. Ayo, beli bubur ayam."
Didan menurut, "Nanti diracun sama penjualnya nggak? Awas, ada pestisida," ujarnya seraya memiringkan kepalanya.
Belum sempat Bintang membalas, ponselnya berdering—Catur menelepon.
"Halo, Mas?"
["Gue udah pulang, nih. Si Didan sama lo aja, kan?"]
Bintang melirik Didan, lantas menggigit bibir bawahnya sebelum menyahut, "Hari ini kafe gue ada kunjungan dari Badan Pangan Nasional. Tolong jemput Didan, ya, Mas?"
Decakan Catur tertangkap telinga Bintang, tapi akhirnya mereka mencapai kesepakatan untuk kembali mengoper Didan.
***
Catur, dengan berat hati, menjemput Didan di kos Bintang. Sekarang, mereka sudah kembali ke rumah mungil ini. Tidak banyak percakapan yang mereka tukar sebab Catur sudah sibuk mengedit naskah, sementara Marsya dan Zidan belum pulang.
"Mbak Marsya ke mana?" tanya Didan, tanpa berniat mengganggu konsentrasi Catur di meja makan sana. "Zidan?"
Namun, Catur tetap memenuhi tatapan Didan yang kini duduk di alas karpet ruang tengah itu. Sedetik kemudian, dia justru merasa lelah hingga memilih untuk mencopot kaca matanya sekaligus menutup laptopnya.
"Zidan kan sekolah di TK tempat Marsya ngajar. Hari ini, kelas Zidan selesainya bareng jadwal ngajar Marsya, jadi gue nggak perlu jemput Zidan duluan," jelas Catur sama sekali tak menaruh sangsi. "Lo nonton TV aja biar nggak bosen."
Didan menggeleng, "Mas Kalin nggak ke sini?"
"Lo kangen Kalin? Tumben nyariin. Dia masih ngeliput di Bandung."
Didan mengerjap, lalu kelimpungan membalas, "Ng, nggak kangen. Mas, kalau Mbak Livia sama Kanya, tuh, jarang main ke sini juga?"
"Lo mau gue anterin ke rumah Kalin aja?"
Catur merujuk pada sikap Didan yang tiba-tiba mengabsen orang-orang, tapi sejatinya dia tidak mau peduli terlalu jauh. Tanpa dia sadari, Didan mulai mau membicarakan banyak hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Your Breath [✓]
General FictionTidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di ruangan sempit nan pengap yang minim pencahay...