18: pulang lagi

591 98 6
                                    

—jangan lupa vote dan comment, yah, sungguh tidak sulit bukan mengapresiasi cerita gratis ini?—

terima kasih!

_______


Fabian bergegas datang ke alamat yang dikirimkan Bintang padanya. Di sesi terakhir kemarin, mereka memang sempat bertukar kontak sebab Bintang kini jadi wali Didan. Sesampainya di rumah Catur, dia saksikan Didan bergeming. Didan terdiam dengan tatapan kosong. Tidak meluap, tidak meledak, tapi sama sekali tidak seperti orang hidup.

"Dok. Tadi kayaknya Didan halu lagi. Dia bilang lihat Ayah sama Ibu di pintu situ. Terus, udah setengah jam gini. Nggak gerak, nggak ngomong," jelas Bintang.

Sementara Fabian mengevaluasi keadaan Didan, Marsya dan Livia segera membuatkan minuman dan membawakan camilan untuk Fabian.

"Mm, tadi sebelumnya ngapain aja?"

"Cuma main-main sama anak-anak ini, Dok," sahut Kalin, menunjuk Zidan dan Kanya.

"Lalu, apa saja yang dibicarakan? Sempat bicara soal Alm. Pak Wardy dan Almh. Bu Marsina?"

"Ya, saya tadi sempat nyebut mereka, Dok," sambut Catur tanpa menutupi apa pun dari Fabian.

Kemudian, Marsya meletakkan segelas teh hangat, sedangkan Livia menaruh sepiring bakpia di meja. Baru setelah itu, keduanya sama-sama merebut anak masing-masing dari gendongan Catur dan Kalin.

"Silakan diminum sama dimakan, ya, Dok," tawar Marsya.

"Maaf cuma seadanya, nih, Dok," tambah Livia.

Fabian mengangguk, lantas bersimpuh di hadapan Didan. Dia pegangi kedua bahu pasiennya, baru mengguncangnya perlahan. Namun, Didan tidak bereaksi.

"Saya suntikkan obat penenang saja, ya. Nanti Didan biar ngantuk, terus tidur." Fabian pun menggeledah isi tasnya, tapi sebelum itu dia sempatkan untuk berbisik di telinga Didan. "Dan, Ayah sama Ibu kamu udah nggak ada. Yang kamu saksikan sekarang cuma masa lalu. Mereka nggak bakal nyakitin kamu lagi. Mereka nggak akan nyentuh kamu lagi. Mereka nggak bisa nyiksa kamu lagi."

Bintang terhenyak, lalu melirik Catur dan Kalin sekaligus kedua kakak iparnya yang ternyata sama-sama tertegun.

"Ada."

Semua orang di sana terkesiap, atensi mereka kini hanya fokus menghadap Didan, menantinya meneruskan kalimat ungkapan itu.

"Nanti malem Ayah sama Ibu masuk ke kamarku. Nganter makan sama minum. Susu segelas sama mie instan semangkok. Nggak boleh makan nasi. Nggak ada melon. Melon itu buah kesukaan Mas Bin. Aku dulu nggak suka. Ternyata enak. Sekarang Mas Bin nggak sesuka itu sama melon. Nggak kayak dulu."

"Ngelantur?"

Fabian mendongak pada Bintang, "Iya. Sebagian memori paling pentingnya lagi ambil alih konsentrasi."

"Ayah sama Ibu nggak ada? Emang ke mana?" tanya Didan, spontan mengalihkan tatapannya dari pintu ke sepasang mata Fabian, sehingga mereka semua jadi terkejut. "Dokter tahu Ayah sama Ibu udah dikubur?"

Fabian mengangguk, "Iya, tahu."

"Meninggalnya kenapa? Kecelakaan, ya? Kok bisa? Dokter tahu kenapa nggak?" Mendadak, Didan menuntut penjelasan. Dia merengek seperti ingin dibelikan mainan kesukaannya. "Dokter dulu tahu, ya? Dokter tahu kalau Ayah sama Ibu suka bikin aku berdarah?"

Hold Your Breath [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang