Tengah malam begini, Kalin terpaksa meminta Catur dan Bintang datang ke rumahnya. Mereka berkumpul di teras sambil sesekali menyesap kopi buatan Livia.
"Gue yakin nggak salah mahamin omongan Didan yang berantakan itu. Dia jelas bilang kalau ada yang telpon Ibu dan orang itu bilang tahu segalanya soal apa yang mereka lakuin ke Didan. Mereka jadi panik sampe akhirnya setuju ketemuan di Puncak. Kecelakaan Ayah sama Ibu juga di arah Puncak. Kesimpulannya, ada yang berniat nyelakain Ayah sama Ibu."
Catur berdeham, "Lo nggak berniat beritain kasus keluarga lo sendiri, kan?" Lalu, meletakkan cangkir kopinya di meja sambil melirik Bintang.
"Ya, nggaklah, Mas. Bahaya juga buat karir gue. Lagian, sejak Didan selalu dikurung di kamar, kita bener-bener nggak boleh ngedeket lagi, kan? Kata Ayah sama Ibu nggak perlu. Itu hukuman buat Didan yang selalu membangkang. Coba aja dari dulu dia sama kayak kita, nggak beda sendiri. Pendiem, penurut, nggak protes ini itu, pasti aman, tuh, dia sampe sekarang."
Namun, Bintang menepis omongan Kalin dengan satu gelengan, "Kayaknya, bukan perkara sesepele itu doang. Inget nggak semenjak Didan diisolasi itu, Ayah dipecat jadi supir travel? Kita nol penghasilan. Sekolah nunggak semua. Belum bayar macem-macem."
Catur dan Kalin sempat berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk sepintas, hingga Bintang melanjutkan lagi.
"Gue nggak tahu, sih. Tapi, Ayah sama Ibu kayak jadiin Didan sebagai alat buat nyukupin kebutuhan kita semua lewat dana bantuan Pemerintah." Bintang menghela napas sebelum memandangi pintu kamar Didan yang tertutup rapat itu. "Gue tadi ketemu Psikiater Didan. Dokter Fabian yang malem-malem kita samperin itu, loh, Mas."
Kalin mengangguk saat Bintang menujuk dirinya, lantas menyambung, "Itu Dokter tahu keadaan Didan sekarang gimana, dong? Lo bolehin dia cerita tadi? Tuh anak bakal nyeritain semuanya, Anjir. Terus, luka-luka—"
"—dia tahu semuanya, Mas," sambar Bintang.
"Mungkin nggak, kalau sebenernya yang nyelakain Ayah sama Ibu itu si Dokter Fabian? Ada motif dia mau nyelametin Didan biar nggak disiksa Ayah sama Ibu, kan? Eh. Kita nggak bisa ngeremehin ilmu psikolog-nya orang, loh," ujar Catur tanpa keraguan sedikitpun, sehingga kedua adiknya jadi sama-sama terpekur. "Masuk akal—"
"—jangan dikorek lagi, deh," putus Bintang.
Kalin setuju, "Bisa jadi bumerang buat kita sendiri soalnya. Gue pengen dipromosiin jadi newscaster, tahu."
"Udah berlalu juga. Fokus kita sekarang cuma nyembuhin trauma Didan. Buat dia setidaknya nggak takut sama orang dulu," tandas Bintang, menekankan keinginan kuat bahwa Catur dan Kalin harus turut terlibat dalam hal ini. "Didan itu tetep adek kita, Mas."
Ketika ungkapan Bintang berakhir, pintu kamar Didan justru terbuka.
"Mas Bin. Mas Bintang. Janjinya beliin melon?"
Bintang meringis—dia bahkan lupa dengan janjinya di saat dia yang paling menekankan untuk peduli pada Didan.
***
Didan selalu diam. Belakangan, dia mau bicara jika bertemu Bintang saja. Semalam, Catur dan Bintang datang. Dia mau menghampiri ke tempat semua kakaknya berkumpul, tapi nyalinya hilang dalam sekejap. Sehingga dia urung dan berbalik untuk menutup pintu kamarnya lagi.
Bintang tak menemuinya. Bintang tidak meminta maaf padanya.
Didan sedang bersiap sebab Kalin sudah menyuruhnya demikian sejak sejam lalu. Hari ini, dia akan memulai kehidupan barunya. Kata Fabian, dia harus bersosialisasi. Dia harus keluar dari perangkap yang menjebaknya belasan tahun ini. Dia harus punya teman. Dia harus kembali jadi manusia normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Your Breath [✓]
General FictionTidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di ruangan sempit nan pengap yang minim pencahay...