21: banyak hari baru

599 95 6
                                    

Sesi terapi yang tadi siang diminta Didan dilakukan hanya berdua saja dengan Fabian, sedikit banyak membuat Bintang penasaran akan apa saja yang mereka bicarakan. Namun, tentu dia tak mau mendesak apalagi jika harus berakhir membebani adik bungsunya itu.

Ide Bintang untuk mengundang keluarga Catur dan keluarga Kalin makan malam bersama di rumah lama mereka—seperti mengenang masa lalu saat keempatnya semeja makan dengan Wardy dan Marsina.

"Nasinya nambah, ya, Dan?" tawar Marsya, tapi dibalas gelengan. "Loh. Kan beberapa hari ini udah latihan makan nasi, Mbak mau lihat hasilnya udah sebanyak apa kamu bisa makan nasi."

"Nggak usah dipaksa, Sayang." Catur akhirnya menengahi. Dia takut salah-salah Marsya malah tersinggung bila Didan berujung mengamuk. "Mending tambah ayamnya, Dan."

Didan menggeleng lagi. Entah bagaimana, muram di wajahnya begitu kentara, sehingga dia sukar menyembunyikan ini.

"Eh, hari ini kan Didan abis terapi, ya? Gimana kata Dokter Fabian?" tanya Livia, tiba-tiba mengganti topik. "Obatnya tetep apa diganti apa dikurangi apa ditambah? Harus rutin minumnya, ya, Dan."

"Cerita, dong, Dan. Selain abis terapi, hari ini lo kan juga ikut kelas dari programnya Sayap Pelindung itu, kan?" Kalin turut bergabung menambah bahasan istrinya. "Inget, kan? Lo harus sering ngobrol."

Didan kini refleks melirik Bintang yang dari tadi tidak menyentuh isi makanan dalam piringnya. Sejujurnya, dia sedang minta bantuan.

"Gue... gue kasih tahu Kio soal perbuatan orang tuanya, Mas."

Beruntung tidak ada yang sedang menenggak minuman, sehingga tidak ada yang tersedak akibat dari ucapan Bintang barusan.

Catur dan Kalin tentu ingat dan kenal siapa Kio, tapi Marsya dan Livia masih merasa abu-abu dengan nama asing itu.

"Kio siapa, Bin?"

Bintang jadi spontan menatap mata penasaran Livia, lalu membalas, "Kio sama orang tuanya adalah awal di mana mimpi buruk Didan terjadi."

"Gue nggak ngerti, deh."

Bintang kini memusatkan atensi menuju Marsya, baru tersenyum getir dan mencicit, "Mbak nyimak dulu aja, ya. Kio ini cuma masa lalu kita, kok."

"Terus, lo berharap apa emangnya?" tanya Kalin, tiba-tiba keningnya berkerut.

"Nggak banyak, sih. Gue cuma pengen Kio tahu aja, bahwa ada hidup Didan yang hancur lebur setelah dia ngebuli gue. Yah, biarpun dia langsung koma, tapi selama bertahun-tahun ini dia nggak tahu kalau orang tuanya adalah penyalur dendam terbaik buat dia. Gimana dia bisa baik-baik aja setelah tahu faktanya? Pasti nggak. Karna dia kerja di bidang psikologis manusia. Dia pasti tahu serusak apa mental Didan."

"Tersangka utamanya tetep Ayah sama Ibu, Bin," tegas Catur, berusaha meredakan amarah adiknya.

Bintang berdecak, tapi sentuhan tangan Didan yang menetap di punggung tangannya, membuat dia tercekat.

"Dokter Fabian bilang dia lega."

"Lega atas apa?" sambar Bintang, tak sabaran.

"Karna udah nyelametin aku."

"Nyelametin lo dari apa?" Bintang terus menggali informasi sementara mata sipitnya bertukar tatapan bingung dengan Catur dan Kalin. "Dan. Lo kan udah sering ngobrol sama gue. Gimana susunan kalimat yang bener lo udah paham. Sekarang coba praktekin apa yang mau lo omongin diubah jadi satu kalimat utuh."

Alhasil, Didan meneguk ludah sebentar sebelum bergumam, "Dokter Fabian lega karna udah nyelametin aku dari Ayah sama Ibu."

"Hah?"

Hold Your Breath [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang