"Mas. Gue udah tahu alasan Didan nggak jadi gantung diri."
Catur dan Kalin serempak menoleh ke arah Bintang yang baru saja selesai menyeruput kopinya. Di teras ini, mereka bertiga mengobrol seperti biasa. Dekat seperti selayaknya saudara, tapi Didan selalu tidak termasuk ke lingkaran ini.
"Didan batal gantung diri karna hari itu hari di mana Kanya lahir. Dia mau lihat wajah Kanya. Dia mau denger tangisan Kanya. Pokoknya, dia mau ketemu Kanya."
Kalin terhenyak, dalam sekejap memalingkan diri ke arah lain, tapi malah bertemu dengan sosok Livia yang sudah berdiri di sebelahnya dengan raut tak terdefinisi.
"Didan bilang gitu? Didan mau bunuh diri?" Livia memberundung, sehingga Bintang mengangguk dua kali. "Jadi, dia beneran disiksa Ayah sama Ibu? Bukan semata dikurung karna dia bikin ulah terus? Gue kira Didan yang emang ansos, jadi dia nggak mau keluar kamar. Mana kita juga jarang ke rumah Ayah sama Ibu dulu."
Marsya yang turut bergabung kemari juga seketika mencelos. Dia sempat bersitatap dengan Catur, merasa bahwa ada satu pemikiran yang sama di kepala keduanya.
"Zidan bilang kalau Didan itu sakit. Sakit bukan sakit yang kita tahu. Sakit di dalem ada, tapi sakit di luar juga ada." Marsya menyumbang suara, disetujui Bintang. "Mau abai, tapi kehidupan sosial Didan itu nggak bisa diabaikan. Jiwanya masih terperangkap, hampir mirip kayak murid-murid gue."
Kemudian, tidak ada ungkapan lain lagi. Semua orang di sana menekuri Didan dan kehidupannya yang ternyata memang semenyedihkan itu. Tak lama, topik obrolan beralih seiring dengan Marsya dan Livia yang kembali ke dalam rumah sejak Zidan dan Kanya berteriak ingin ditemani.
"Gue sama Livia harus ke Jogja. Pulang bentar. Ada acara syukuran lahiran adeknya Livia."
Catur dan Bintang menyimak sambil berpikir, lantas sama-sama mengangguk.
"Jadi, Didan ikut Mas Catur apa di Bintang dulu?" tanya Kalin, mendapati kedua saudaranya saling memandang. "Eh, tapi kalau sesuai giliran, sih, udah gilirannya Mas Catur, kan?"
"Ya," sahut Catur. "Sama gue aja. Abis ini pulang sama gue."
"Nggak nanya Mbak Marsya dulu?" Bintang bicara sambil memperhatikan Marsya yang sedang mengobrol dengan Livia di ruang tengah sana. "Siapa tahu Mbak Marsya masih keinget hari di mana Didan nyekik Zidan."
"Nggak," balas Catur. "Kita udah baik-baik aja, kok."
"Oke. Kalau gitu, gue suruh Didan siapin barang-barangnya dulu, deh." Ketika Kalin menawarkan diri, di saat yang bersamaan Bintang sudah lebih dulu berdiri. "Ngapain, Bin? Lo mau ke toilet?"
Bintang menggeleng, "Gue aja. Gue pengen ngomong sama Didan."
Alhasil, Catur dan Kalin mempersilakan. Sekian detik kemudian, Bintang sampai di depan kamar Didan. Dia mengetuk beberapa kali, tapi tidak ada sambutan. Lagi pula, buat apa begitu? Dia bisa langsung saja masuk.
"Dan—eh, lo lagi ganti baju? Kenapa nggak bilang? Teriak gitu pas gue ngetuk tadi."
Didan mengerjap, lalu buru-buru memakai piyamanya dan menyimpan setelan rapih yang tadi dia kenakan saat diajak pergi Kirei dan Sapta. Namun, Bintang tiba-tiba mendekat, menyingkap bagian belakang demi memeriksa luka-luka di punggungnya.
"Udah mendingan, ya. Sama Mas Kalin rutin diolesin salepnya, kan? Kalau gatal, jangan digaruk."
Didan mengangguk, tapi tetap tidak bersuara.
Bintang berdeham sebab atmosfer mendadak terasa canggung. Lalu, dia bicara, "Soal Kio. Gue harap lo bisa jaga jarak dari dia."
"Orang itu yang bikin Mas Bin luka-luka juga," cicit Didan, seketika memori lampaunya lewat. Dia ingat telah menemukan Bintang harus melawan Kio dan kawanannya di halaman terbengkalai belakang sekolah. "Aku telat dateng. Kalau nggak telat, Mas Bin nggak luka-luka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Your Breath [✓]
Ficción GeneralTidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di ruangan sempit nan pengap yang minim pencahay...