Anak-anak Mahameru kini resmi jadi anak yatim piatu. Walaupun, dua di antaranya sudah berkeluarga sendiri. Namun, dua bungsu tentu masih butuh arahan orang tua. Seharusnya, tapi mereka memilih untuk masa bodoh. Bintang tak peduli, Didan tidak mengerti.
Pemakaman Wardy dan Marsina berlangsung cepat sebab tak banyak tamu pelayat datang. Seusai bunga ditabur ke dua gundukan tanah itu, mereka semua berdiri sambil berdoa. Dengan pakaian serba hitam, tidak ada yang tidak menangis di balik kaca mata hitam mereka. Kecuali, Didan.
Bintang meminjamkan kemeja dan celana hitam ini padanya tadi pagi. Semalam dia tidak diajak mengurus jasad orang tuanya, tiba-tiba semua sudah selesai hingga dia dibawa kemari tanpa sepatah katapun.
Catur dan Marsya berdiri dengan menggandeng masing-masing tangan Zidan, tampak angkuh seperti biasa. Di mata Didan, mereka adalah si penguasa pengganti orang tuanya setelah ini. Kalin dan Livia juga berdiri sambil memegangi masing-masing bahu Kanya, tampak arogan seperti seharusnya. Bagi Didan, mereka akan menggemborkan soal keuangan setelah ini.
Bintang berdiri di samping Didan, masih menangis tersedu dan menjadi si paling kehilangan. Namun, haruskah Didan bersorak atas kematian orang tuanya sendiri?
“Didan ikut siapa?”
Tiba-tiba pertanyaan Catur membuat semua atensi teralih, nada itu terdengar menusuk.
“Gue udah repot sama Zidan,” ujar Marsya, terang-terangan menolak, bahkan di depan sang subjek. “Sori. Jangan di rumah gue. Lagian, rumah gue juga kecil.”
“Ikut lo aja, Lin. Di rumah lo ada satu kamar sisa, kan?”
Kalin mengesah, lalu memandangi sosok Didan dengan dengkusan remeh. Dia hanya sedang mencari alasan.
“Mas tahu sendiri sesibuk apa gue sama Livia. Nggak bisa. Ya, kan, Sayang?”
Kemudian, Kalin merangkul pinggang Livia yang segera mendukung pernyataan suaminya barusan.
“Iya, Mas. Gue sama Mas Kalin kan sama-sama kerja. Berangkat pagi pulang malem,” kata Livia, berusaha meyakinkan tanpa peduli perasaan adik iparnya. “Kanya juga nggak biasa ada orang asing di rumah.”
Didan tahu perasaan macam apa ini—terluka, terbuang, tersingkirkan. Memang menyakitkan, tapi dia berusaha tetap memijak di sini.
“Orang asing?” Bintang berbalik, menemukan kedua kakaknya dan kakak iparnya saling melempar. “Di rumah Ayah sama Ibu juga masih bisa, kok. Biarin aja Didan di situ. Kayak biasanya.”
“Loh. Rumahnya kan mau dijual. Udah gue iklanin,” tandas Catur.
“Hah? Mas nggak diskusi sama gue dan Mas Kalin dulu?”
“Mm. Gue udah tahu, kok, Bin. Ya gue setuju aja,” ungkap Kalin.
“Terus, Didan?”
“Makanya, Bin. Didan biar ikut kos sama lo aja dulu.”
“Ya nggak bisa, Mbak Livia. Ngekos cuma buat satu orang, mana bisa dua.”
“Sewain satu lagi kamar di sebelah kamar lo aja, Bin.”
“Masalahnya, kos gue juga udah penuh, Mbak Marsya.”
Didan memperhatikan perdebatan tentang dirinya itu dalam diam. Dia tidak mau terlibat, tapi setiap namanya disebut dia selalu berdebar.
“Mas, Mbak. Maaf mengganggu.”
Didan dan semua keluarga Mahameru menoleh ke asal suara serak itu. Didan mengenal dua orang ini sebagai Sapta dan Kirei. Ya, mereka datang untuk melayat, tapi terlambat. Ternyata mereka malah menemukan pertikaian saudara di sini. Tepat di depan tanah kubur yang bahkan masih segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Your Breath [✓]
Ficción GeneralTidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di ruangan sempit nan pengap yang minim pencahay...