Didan memandangi buku gambar dan pensil warna yang baru saja diambilkan Catur dan Marsya dari kamar Zidan. Meski tidak ada yang mengatakan apa-apa, dia seperti merasa diintimidasi. Alhasil, secara perlahan dia menggapai pensil berwarna hitam, lalu membuka lembar kosong dari buku gambar itu.
Catur dan Marsya sempat saling melirik, tapi mereka hanya akan menunggu apa yang akan dilakukan Didan.
Lima detik berlalu, coretan pertama Didan hadir di halaman putih itu. Sebuah garis memanjang, yang kemudian diputar melingkar, hingga menjadi gulungan menyerupai benang wol. Tidak jelas apa maknanya.
"Itu apa?" tanya Catur, hati-hati.
"Isi kepalaku."
Catur dan Marsya sama-sama terhenyak, tapi Didan melanjutkan gambar berikutnya. Dia menggambar orang-orang dan mengelompokkan mereka dalam beberapa lingkaran.
"Itu siapa?" tanya Catur lagi.
"Yang benci dan yang sayang aku."
Jiwa tenaga pendidik Marsya seketika ingin berperan, jadi dia mendekat agar bisa leluasa mengerti arti gambaran Didan. Dia amati baik-baik sampai akhirnya menarik kesimpulan.
"Dua di atas itu Ayah sama Ibu. Pasangan di kanan itu Mas Catur sama Mbak. Pasangan di kiri itu Kalin sama Livia. Dua di bawah kamu sama Bintang? Tapi, kenapa yang di dalem lingkaran cuma kamu sama Bintang?"
Tidak ada nada ketus dan tatapan sinis seperti biasa dari sosok Marsya. Tidak ada ekspresi tajam yang selalu dia lempar hanya karena Didan bernapas terlalu keras atau berjalan terlalu berisik. Kali ini, ada sisi lembut yang ditunjukkan wanita berambut sebahu itu.
"Mas Bin doang yang sayang sama aku."
Catur kepayahan menelan ludah sebab sedikit banyak ucapan Didan tersebut menyentak dirinya. Mana mungkin dia mengelak? Dia ingat betul bahwa hanya membela Bintang alih-alih menyelamatkan Didan. Dia masih ingat seberapa besar keberpihakannya kepada Bintang dibanding kepada Didan. Dulu, dia memprogram dalam diri bahwa Bintang adalah anak penurut, sementara Didan adalah anak pembangkang. Anak nakal harus diberi pelajaran, sedangkan anak pintar harus diberi apresiasi.
Dia tahu Didan hanya menyayangi Bintang karena memang hanya Bintang yang selalu memastikannya baik-baik saja. Bukan berarti dia tak sepeduli itu, tapi hubungannya dengan Didan memang tidak sedekat itu.
"Tidur lo. Nggak usah ngelantur."
Didan mengerjap, tapi tidak memprotes lebih lanjut titah Catur barusan.
***
Hari ini, Kio dan Kirei berangkat bersama ke markas Sayap Pelindung. Tempat komunitas peduli sesama itu melaksanakan sebagian besar kegiatan mereka; galang dana, rapat soal penyaluran bantuan sosial, termasuk program perdana mereka yang melibatkan Didan di dalamnya. Kelas khusus mereka yang ingin sembuh.
Sayap Pelindung menyediakan sarana dan prasarananya. Kirei menyarankan Kio sebagai pemandu jalannya program ini sebab kakak sepupunya itu punya sederet prestasi mengesankan sebagai seorang terapis psikologi.
Begitu Kio memarkir mobilnya, dia menoleh ke sebelah. Ada Kirei yang tampak sangat bersemangat. "Kayaknya, lo lebih seneng pergi ke sini dibanding pergi ke kampus, deh."
Kirei selesai melepas sabuk pengamannya, lalu tergelak sebentar sebelum membalas, "Iya. Soalnya, di sini gue bisa nerapin ilmu-ilmu teori psikologi, Kak."
Akhirnya, Kio memaklumi dengan anggukan berulang. Namun, fokusnya teralih pada mobil seberang di mana Didan turun dari mobil Catur. "Oh, bukan Bintang yang nganter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Your Breath [✓]
General FictionTidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di ruangan sempit nan pengap yang minim pencahay...