"Tolong berhenti, Lan. Aku tidak bisa terus menerus melihatmu seperti ini setiap kali kamu kembali dari antah berantah."
Sekuat tenaga aku mengendalikan tanganku yang gemetar, tapi kenyataannya aku tidak sanggup saat melihat perut rata yang sudah penuh bekas luka tersebut kini berhias sebuah luka memanjang bekas sabetan belati. Banyak orang terluka sudah aku obati, bahkan operasi pun menjadi makanan wajib disaat koass dan intership ku, tapi jika yang terluka adalah pria di hadapanku, yang rasanya menjadi langganan klinikku nyaris dua minggu sekali sepanjang tahun ini dengan berbagai luka, rasanya sangat menyulitkan.
Lukanya cukup dalam, darah terus mengucur, dan itu cukup untuk membuatku meneteskan air mata. Namun sayangnya seolah akulah yang berlebihan, pria di depanku ini justru tidak bergeming, dia tetap diam ditempatnya memperhatikanku dengan pandangan yang sangat aku benci. Pandangan datar, dingin, tanpa perasaan, seakan dia bukanlah manusia.
Kuletakkan peralatanku, dan akhirnya aku menyerah, aku tidak sanggup lagi untuk melakukan semua hal ini. Tubuhku gemetar, dan akhirnya tangisanku lolos begitu saja, disini, disamping pasienku, aku terisak, sungguh aku seornag dokter yang buruk karena memperlihatkan emosiku kepada seornag yang menyerahkan hidupnya kepadaku. Sebelumnya aku sangat lega saat pintu klinikku di ketuk olehnya, tapi saat akhirnya dia membuka kemeja hitamnya hanya untuk memperlihatkan hal yang sangat tidak aku sukai, rasanya aku sangat menyesal karena mengharapkan dia akan segera kembali.
Kembali hanya saat terluka, pergi saat sudah mendapatkan penanganan. Terus menerus seperti ini membuatku merasa hanya dimanfaatkan. Bahkan saat akhirnya aku menangis sehebat ini karena dirinya, aku tidak mendapatkan penghiburan apapun. Tidak ada tepukan ringan untuk menenangkan. Tidak ada kalimat jika aku harus berhenti menangis, dia membiarkanku menangis dengan kejinya seolah hatinya sudah mati tanpa perasaan. Tidak peduli seberapa lama aku terguncang dalam tangisan, dia hanya membiarkannya. Sungguh, sikapnya benar-benar membuatku semakin buruk. Aku merasa kepedulianku kepadanya lah hanyalah satu hal yang sia-sia.
"Jika kamu tidak mau mengobatiku, aku akan pergi ke klinik lain, Farida."
Farida, hanya dia yang memanggilku seperti ini.
Di dunia ini hampir semua orang memanggilku dengan panggilan Bunga, nama indah yang disematkan oleh Papaku, namun satu-satunya yang memanggil nama belakangnya hanyalah dia. Dia yang menatapku tanpa dosa, membuatku menyalahartikan jika aku istimewa untuknya selama ini. Sementara aku yang masih bergelut dengan tangis yang tidak kunjung reda, aku mendengar suara ranjang yang berderit pelan, disertai kibasan kemeja yang memberitahuku jika pria sombong yang merasa jika dirinya adalah pahlawan sekaligus penjahat ini akan benar-benar pergi, Meninggalkanku untuk kesekian kalinya, memberikanku punggungnya sebagai salam perpisahan.
"Maaf jika aku sudah membuatmu tidak nyaman, aku....."
"BUKAN ITU YANG AKU INGIN DENGAR DARIMU, B4JINGAN!" Rasanya sudah lama sekali aku tidak berteriak kepadanya, dan saat akhirnya aku melakukannya kembali, aku tahu jika ini adalah puncak rasa resah dan khawatirku, tidak peduli seberapa menyedihkannya diriku, aku menatapnya dengan nyalang agar dia melihat betapa sakitnya diriku melihat keadaannya. "YANG AKU INGINKAN ADALAH JANJIMU UNTUK TETAP UTUH SETIAP KALI KAMU KEMBALI. AKU MUAK MENGOBATIMU, AKU MUAK MELIHATKU TERLUKA, DAN AKU MUAK DENGAN JANJI-JANJIMU YANG TIDAK PERNAH KAMU TEPATI, DYLAN MAHESA SIALAN!"
"Farida........"
"AKU MUAK MENCINTAIMU YANG HANYA MEMIKIRKAN PENGABDIANMU!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Enemy
RomanceBunga kira dirinya mengenal Dylan. Sejak umur 7 tahun mereka bersekolah ditempat yang sama sampai akhirnya Bunga harus pergi ke Ibukota untuk mengenyam pendidikan mengikuti kemauan orangtuanya, sejak saat itu Bunga tidak pernah melihat Dylan. Sosok...