"Dan sepertinya aku bersikap seperti yang kalian inginkan, kan? Cheers, senang bertemu dengan kalian kembali."
Mereka semua mengangkat minuman bersamaan, menyambutku yang menyapa mereka usai drama perdebatanku dengan Dylan. Jika kalian bertanya apa aku populer dulu di sekolah? Maka jawabannya, tidak! Ya, aku sama sekali tidak populer, dibandingkan menghabiskan waktu istirahat dengan touch-up seperti anak yang lainnya, aku lebih memilih berkutat di perpustakaan atau menyusun dengan rapi catatanku, aku mengejar beasiswa FK di salah satu kampus Negeri di Jakarta karena aku benar-benar jengah dengan nama Papa yang melekat membuatku seolah mendapatkan apapun sebagai sebuah priviledge, bukan bagian dari usaha kerasku. Satu-satunya hal yang membuatku cukup diingat semua orang adalah karena pria disampingku ini tidak hentinya mengikutiku, tolong, jangan bayangkan hal manis saat aku berkata jika Dylan mengikutiku, karena dia mengintiliku bukan dalam arti yang romantis melainkan dalam bentuk yang negatif.
Dylan suka sekali mengusiliku, menyembunyikan catatanku sampai dibawanya pulang sampai aku nyaris menangis mencarinya, menggangguku dengan segudang pertanyaan tidak penting saat aku belajar diperpustakaan hanya untuk sekedar menganggu konsentrasiku, dan yang paling menyebalkan adalah dia yang seringkali menitipkan tasnya kepadaku, membuatku harus menghabiskan sore dengan menunggunya bermain basket dan bola hingga nyaris maghrib. Sungguh olahraga yang sangat tidak aku sukai.
Tapi dibandingkan berurusan dengan para pembully-ku macam Vita yang benar-benar meninggalkan trauma mendalam, aku lebih memilih diganggu Dylan. Sama seperti sekarang, wanita-wanita yang merasa jika aku adalah penyebab utama Dylan mengacuhkan mereka, kini mencibir saat aku mengangkat gelasku menyapa mereka, namun belum sempat minuman itu menyentuh bibirku, tangan kasar yang berasal dari sebelah tempatku duduk sudah lebih dahulu merebutnya membuatku nyaris berteriak untuk memakinya, tapi sebelum lidahku sempat melontarkan umpatan yang sangat menggoda, Robin yang ada di depanku menggelengkan kepalanya cepat, memintaku untuk mengendalikan diri, astaga, Dylan dan segala tingkahnya, dia membuatku seperti sebuah perusak pesta seseorang.
Kedua tanganku terkepal, dengan sangat jengkel aku menoleh ke sisi kiriku, tapi disaat itu pula sebuah orange jus diberikan oleh seorang waitress dan disorongkan kepadaku olehnya. Oleh si anak kambing ini. "Jangan mabok, Da. Tidak ada yang sudi kamu susahkan dengan tingkahmu. Dan aku tidak mau ambil resiko kamu muntah di Clubku yang mahal ini."
Ckckck, dia masih sama.
Percayalah, saat itu aku ingin sekali mengguyur wajah tengil dan sombong itu dengan minuman yang dia sorongkan kepadaku, tapi sebelum itu terjadi dan membuatku semakin mempermalukan diri sendiri, aku memilih untuk tersenyum manis kepadanya. "Terimakasih, Lan. Senang dengan perhatianmu." Tanpa bisa aku cegah aku mengedipkan mataku kepadanya, menggodanya yang seketika menelan ludah, jakunnya bergerak saat aku menyesap minumannya, namun enggan untuk melihatnya lebih jauh aku lebih memilih menyapa yang lainnya yang penasaran dengan kehidupanku sekarang sembari mereka memamerkan pencapaian mereka, khas sekali reuni yang identik dengan flexing atau lebih tepatnya ajang pamer.
"Jadi, kamu benar-benar menjadi dokter sekarnag, Nga?"
"Ya nggak heran sih Bunga jadi dokter, Bapaknya punya tongkat, punya bintang dibahu, Maminya punya yayasan presschool sendiri, aku akan heran kalau dia menganggur dan tiba-tiba sukses bergelar independent woman. Ciiiih."
Entah niatnya benar-benar memujiku atau sekedar menyindir, kalimat yang diutarakan Melinda membuat Vita merasa terpanggil dengan jengah.
"Independent woman tidak berasal dari orangtua yang mapan, Melinda Sayang. Bukan aku yang mengakui, tapi netizen yang berkata demikian."
Balas Vita dengan sengit. Perseteruan dua wanita yang sempat menjadi sahabat tidak terpisahkan di SMA itu mungkin saja akan meledak jika temanku yang lainnya, Guntur tidak menginterupsi perdebatan mereka dengan melontarkan kalimatnya kepadaku. Diantara banyaknya orang yang menganggapku kutu buku, Guntur adalah sedikit orang yang bisa diajak kerja kelompok."Jadi kamu praktik dimana, Nga? Kali aja bisa mampir makan siang. Nggak heran kalau sulit sekali mengundangmu ke reuni, Robin satu-satunya yang berhasil untuk menyeretmu bertemu kita rupanya."
"Bunga kalau sampai nggak mau datang kali ini, aku nggak akan mau dimintai tolong buat makeupin dia lagi seumur hidupnya sampai dia kawin pun nggak akan nolongin." Desis Robin penuh kebanggaan sembari membusungkan dadanya yang jauh dari bidang.
Menghargai sikap hangat Guntur yang membuat Robin besar kepala, aku mengangguk pelan, "sebenarnya aku nggak begitu nyaman dengan Club seperti ini, Tur. Jadi bukan sombong atau tidak menghargai undangan kalian, tapi aku agak kurang nyaman dengan keramaian."
Mereka yang sudah tahu bagaimana cintanya aku dengan buku dibandingkan bergosip langsung mengangguk paham dengan jawaban yang aku berikan, maklum denganku yang lebih menyukai kesendirian daripada di pandang aneh oleh orang lain, tapi Rain, buntut Dylan satu itu justru menanggapinya dengan berbeda, sepertinya Rain gemas dengan tidak adanya pertengkaran diantara kami. Sebenarnya aku pun juga agak heran karena Dylan yang biasanya menguasai panggung obrolan menjadi starboy diantara yang lain kini hanya terdiam, sebelah tangannya memegang koktail, sementara tangan lainnya ada di punggung sofa yang kami duduki.
"Kon tau nggak Nga, selain kamu, si Dylan juga absen mulu tiap diajak reuni. Aku sama yang lain sebenarnya curiga kalau kalian sebenarnya janjian buat nggak datang. Kan kalian kompaknya udah kek Upin Ipin. Dari dulu sampai sekarnag nggak berubah. Dimana ada Bunga, disitu ada Dylan."
"..............."
"Persis malam ini."
Arrrrggghhh, tidak adakah obrolan lainnya selain mengaitkanku dengan pria yang ada di sebelahku ini? Sepertinya aku mulai menyesal menerima undangan dari Robin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Enemy
RomanceBunga kira dirinya mengenal Dylan. Sejak umur 7 tahun mereka bersekolah ditempat yang sama sampai akhirnya Bunga harus pergi ke Ibukota untuk mengenyam pendidikan mengikuti kemauan orangtuanya, sejak saat itu Bunga tidak pernah melihat Dylan. Sosok...