"Kon tau nggak Nga, selain kamu, si Dylan juga absen mulu tiap diajak reuni. Aku sama yang lain sebenarnya curiga kalau kalian sebenarnya janjian buat nggak datang. Kan kalian kompaknya udah kek Upin Ipin. Dari dulu sampai sekarnag nggak berubah. Dimana ada Bunga, disitu ada Dylan."
"..............."
"Persis malam ini."
Arrrrggghhh, tidak adakah obrolan lainnya selain mengaitkanku dengan pria yang ada di sebelahku ini? Sepertinya aku mulai menyesal menerima undangan dari Robin.
"Jangan bicara sembarangan Rain, bagaimana bisa aku janjian sama si Farida kalau kalian baru saja dengar dia ngomong kalau 12 tahun nggak ketemu."
Sedari tadi pria ini membisu, dan akhirnya dia angkat bicara mengonfirmasi godaan yang membuat meja kami menggila. Rasanya aneh sekali saat mendengar suaranya yang dalam dan penuh wibawa, terdengar dewasa membuat aura sombong dan superiornya semakin kental, dengan dramatis dia memainkan gelas koktailnya sembari menatap satu persatu teman mereka seolah menunggu salah satu menyanggah apa yang dia ucapkan.
"Jadi kalian lost contact sama sekali setelah lulus SMA, kamu nggak ada kirim pesan gitu ke Dylan?" Dengan keheranan Robin bertanya kepadaku, membuatku yang hendak meraih salah satu platter yang tersaji seketika urung, namun saat tanganku mulai mundur, Dylan justru menyorongkan plater tersebut ke arahku membuatku reflek mengangkat tanganku untuk mengambilnya, sungguh, sebenarnya aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang dilakukan si kambing ini, sikapnya ini sudah sangat biasa dari dulu, sekedar mendorong makanan atau membukakan botol minum, ayolah itu sangat biasa, bukan? Dan dilakukan semua orang, tapi rupanya hal itu tidak bisa untuk semua orang yang ada di sekeliling meja besar yang berisikan 8 orang ini.
Mereka semua memperhatikanku yang tengah mengunyah kenyang bergantian dengan Dylan sebelum bertukar pandang geli.
"Kenapa kalian senyum-senyum? Ada yang aneh?" Pertanyaan konyolku membuat mereka seketika meledak dalam tawa. Membuatku semakin mengernyitkan dahi keheranan.
"Kan, udah dibilang, mereka berdua tuh nggak beres!"
"Mereka itu saling suka kejebak friendzone! Dahlah, Nga coba jawab jujur, sebenarnya kalian berdua ada hubungan, kan? Jujur saja!"
Pertanyaan final dari Rain disertai kalimat memojokkan tersebut membuatku seketika tersedak, ide darimana mereka bisa berpikir jika aku dan Dylan ada something, rasanya perih sekali saat kentang goreng ini nyasar ke saluran nafas, dan alih-alih menolongku mereka semua justru tertarik menunggu jawabanku, untunglah, meskipun wajahnya sombong minta ampun, si Kambing ini masih punya hati dengan mengambilkan minumanku, tapi baru saja aku menghirupnya, baru saja menyentuh lidah tapi dengan tidak pekanya mereka justru bersorak keras membuatku menyemburkan jus jerukku.
"Tuhkan, apa aku bilang! Si Tengik satu ini tuh ngintilin si Bunga kemana-mana gegara dia suka! Nah, ngaku kalian!"
Astaga, rasanya perih sekali hidungku. Berulangkali tersedak karena celetukan gila tidak berdasar orang-orang mabuk yang mulai kehilangan kendali. Terdengar suara kuncian yang terbuka, dan kembali untuk ketiga kalinya Dylan mengulurkan tisu kecilku yang selalu ada didalam tas, sikap lancangnya yang selalu membuka propertiku tanpa izin membuatku langsung melotot kepadanya, tentu saja sikapnya ini membuat semuanya semakin riuh menyoraki hal yang bahkan tidak aku mengerti.
"Nah, lihatkan kelen gimana ini si Kampret perhatiannya ke Bunga. Duileeeh Cuk, dari tadi nggak ada ngomong sama sekali begitu Bunga ada keselek dikit langsung sat set! Dahlah, kawin aja kalian berdua, nunggu apa lagi keburu tua."
Aku yang terlalu sibuk meredam rasa perihku sontak melemparkan tisu yang bekas kupakai dengan asal, kepada siapapun yang masih betah berteriak-teriak. Disaat seperti ini seharusnya si Kambing Sialan kampret tidak berguna ini menyuruh temannya diam, bukan malah memperhatikanku yang masih merasa perih di telingaku, satu hal yang aku notice lagi darinya adalah mulut besarnya sekarnag berkurang jauh.
"Diam kalian semua!" Ucapku pelan usai membersit hidungku yang benar-benar perih, "jangan ngomong sembarangan. Perkara cuma nyodorin makan sama minum!"
"Tapi itu si Dylan juga bukain botol minum lo seingatku."
"Lah terus apa salahnya?" Bantahku keras, "ya wajarlah ngasih minum dibukai dulu. Kalian juga gitu kan kalau ada yang minta minum! Lan, ngomong napa, bisu kon?"
Sungguh aku benar-benar kesal dengan prasangka tidak menyenangkan dari teman-temanku ini, alih-alih mereka diam, mereka justru semakin gencar menggoda kami, terlebih saat satu wanita yang tiba-tiba saja bergabung dan duduk di lengan kursiku, tatapannya yang mencibir membuatku tanpa sadar beringsut mendekat ke arah Dylan.
Terlalu sibuk memperhatikan sosok Anyelir, salah satu mantan Playboy kambing kampret yang dulu begitu memusuhiku, terlebih karena dulu sering sekali aku memergoki mereka berciuman di lorong perpustakaan, tempat yang tidak seharusnya mereka pakai untuk untui bermesraan membuat kadar kebencian Anyelir kepadaku semakin meningkat, terlalu sibuk menjauhi Anyelir membuatku lupa jika aku semakin mengikis jarak dengan Dylan, yang langsung menambahkan ketidaksukaan Anyelir kepadaku yang sama sekali tidak berkurang.
"Tidak ada teman yang menyorongkan makanan meskipun kamu pengen, Bunga. Tidak ada yang membukakan susu yang kamu minum meski itu temanmu. Dan tidak ada teman yang mementingkan teman mereka dibandingkan pacarnya sendiri, apalagi sampai diizinkan membuka tas. Teman? Ciiih, rasanya aku ingin muntah mendengar kemunafikanmu ini. Manusia paling naif yang sialnya selalu beruntung." Tambahnya sembari melihatku dari atas ke bawah, "bertahun-tahun tidak bertemu aku setengah berharap jika saat bertemu keadaanmu akan menyedihkan, tapi lihatlah, sialan sekali melihatmu semakin bersinar! Ck menyebalkan sekali."
"..........."
"Kamu tahu Bunga, apa sebutan yang tepat untuk dirimu ini? Pick me!!!"
Damn! Anyelir. Aku benci Anyelir yang membuatku serasa orang jahat diantara dirinya dan Dylan. Tidak, aku tidak pernah meminta perhatian itu dari Dylan-nya. Jangankan mengusik hubungannya dengan Dylan, aku bahkan tidak pernah melontarkan pertanyaan apapun tentangnya dan Dylan.
Tidak pernah.
Demi Tuhan, sudah benar pilihanku diawal untuk tidak ke acara reuni sialan ini.
Ini bukan reuni, ini mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Enemy
RomanceBunga kira dirinya mengenal Dylan. Sejak umur 7 tahun mereka bersekolah ditempat yang sama sampai akhirnya Bunga harus pergi ke Ibukota untuk mengenyam pendidikan mengikuti kemauan orangtuanya, sejak saat itu Bunga tidak pernah melihat Dylan. Sosok...