"Dylan......"
Lidahku terasa kelat saat mengucapkan nama pria yang tampak menonjol di antara banyak pria lainnya, sementara para teman lelakiku tampak tidak terganggu olehnya, tampak jelas jika para perempuan tampak memuja pada sosoknya yang kini nyaris tidak aku kenali.
Dylan tidak lagi seorang yang tampak tengil, namun dia adalah pria dewasa dengan tubuh yang luar biasa, wajah tampan itu terpahat tegas menegaskan garis aristokrat keluarga Antonio yang bangsawan, rambutnya tertata rapi memperlihatkan jidatnya yang selalu menjadi bahan fantasi para teman perempuan di kelasku. Dia tampak menawan sekaligus berbahaya di saat bersamaan, tatapannya menarikku untuk terus memperhatikannya namun aku dengan cepat menepisnya. Tidak, tidak ada yang berubah Bunga, dia masih Dylan yang menjambakmu hanya karena patah hati Mami memilih Papa dibandingkan Omnya yang diam-diam begitu brengsek.
Tidak ingin tampil memalukan dengan mempertegas kata culun yang dulunya seringkali menjadi bahan olok-olokan Dylan, aku lebih memilih untuk tersenyum sembari melangkah pergi. Demi Tuhan, aku bersyukur sekali dengan dress yang aku kenakan sekarang, karena setidaknya aku pantas saat berhadapan dengan beberapa orang dari teman sekelasku.
Lebih tepatnya ulang tahun Robin yang ke 29 ini adalah reuni kecil-kecilan dari teman sekelas kami yang ada di Jakarta.
"Dan inilah dia bintang utama kita hari ini, Bunga Farida. Bolehkah, Miss?" Sorakan keras terdengar dari mereka atas sambutan berlebihan Robin yang menjemputku, selayaknya gentleman sejati dia memberikan tangannya lengkap dengan gaya membungkuk penuh hormat khas bangsawan, terkekeh geli dengan tingkahnya aku pun menyambutnya, membuat beberapa orang lainnya tertawa saat akhirnya Robin membawaku ke meja ekslusif yang aku tahu pasti bukan harga yang murah untuk di booking.
Berbeda dengan Robin yang langsung duduk kembali ditempatnya, tidak ada tempat yang tersisa untukku kecuali kursi yang di duduki oleh Dylan, namun sama seperti dulu saat dia memandangku dengan enggan, kini dia pun hanya mendongakkan wajahnya yang sombong itu saat aku menatapnya dengan kesal.
Seharusnya sebagai pria dia peka untuk menggeser tempat duduknya, namun seolah yang lainnya rindu dengan perdebatanku bersama Dylan, semuanya menutup mata dan asyik berbicara sendiri, tidak ada yang mau bergeser atau memberiku tempat duduk. Bahkan Rain, laki-laki yang tidak lain adalah gerombolan kecil pengagum Dylan tersebut sengaja memanasi keadaan.
"Duduklah, Nga! Kon nggak pegel apa berdiri pakai sandal setinggi itu, sumpah aku yang lihat saja ngeri kecengklak!"
Aksen Surabaya yang medok tersebut membuatku mencibir, tidak ada yang berubah, mereka saat bersama kembali memakai bahasa Ibu disaat hendak mengumpat.
"Geser, makane!" Balasku jengkel, belum juga duduk udah dibuat emosi. Dan yang membuatku semakin kesal adalah Dylan yang masih mode budeknya.
"Halah, ngapain sih ribut, duduk saja sama si Dylan." Enteng bener si Robin ngomong, "Dia udah nggak gigit kok, Nga. Swear, nih buktinya buat party gue saja dia semua yang traktir, ini Club punya dia, Nga. Nggak akan ada yang berani ngangkat pantat Dylan buat pergi dari tu kursi, jadi mending kalian duduk baek-baek!"
Aku menggigit bibirku kuat, sedikit syok saat mendengar jika Club yang terkenal sejak dua tahun terakhir ini adalah miliknya. Seharusnya aku tidak heran mengingat betapa kayanya keluarga Antonio Mahesa. Tolong katakan anak sekolah negeri mana yang mengendarai sebuah motor 1000cc ke sekolah yang seharga mobil jika bukan manusia tengil yang kini memandangku dengan bibirnya yang selalu mencibir.
"Opo!!!!!" Bahasa Jawanya yang kasar terdengar rendah di bibirnya saat menantangku. Mengabaikan suara beratnya yang semakin menjadi aku memilih untuk mengatakan apa yang aku inginkan.
"Menyingkirlah, Lan. Aku tidak mau duduk bersamamu! Aku susah payah mencatok rambutku, dan sedang tidak berminat untuk jambakan-jambakan denganmu." Seharusnya aku tahu kalimatku tidak berarti apa-apa untuknya, karena seperti perkiraanku, alisnya menukik tinggi menyiratkan ketidaksetujuan yang penuh dengan ejekan.
"Ya sudah, kalau tidak mau duduk disampingku....." dengan pandangan tanpa dosa dia menepuk pahanya yang langsung disambut siulan mengerikan gerombolan kecilnya, "duduk saja di pangkuanku. Mau?"
Kalian tahu apa yang aku lakukan setelah godaannya yang kurang ajar? Yang aku lakukan adalah menghantam wajah sombong itu sekuat tenaga dengan tas yang aku bawa.
Dasar C4bul!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Enemy
RomanceBunga kira dirinya mengenal Dylan. Sejak umur 7 tahun mereka bersekolah ditempat yang sama sampai akhirnya Bunga harus pergi ke Ibukota untuk mengenyam pendidikan mengikuti kemauan orangtuanya, sejak saat itu Bunga tidak pernah melihat Dylan. Sosok...