Masih sama I

830 145 4
                                    

"Ya sudah, kalau tidak mau duduk disampingku....." dengan pandangan tanpa dosa dia menepuk pahanya yang langsung disambut siulan mengerikan gerombolan kecilnya, "duduk saja di pangkuanku. Mau?"

Ya, aku benar-benar menghantamkan tas yang aku bawa dengan senang hati ke wajahnya, tidak, tidak hanya wajahnya tapi kebagian manapun yang bisa aku jangkau untuk menghancurkannya. Selain tumbuh dan berkembang menjadi pria menakutkan dengan tubuh yang menjaadi sangat mengerikan, bagiku tidak ada yang berubah dari sosok sombong di hadapanku, yang ada dia sekarang justru ketambahan satu kata.

C4bul.

"Mahesa Si4lan! Haruskah kamu berbicara seperti ini setelah hampir 12 tahun kita tidak bertemu, hah?! Setelah brengsek, sombong, dan jahat, kamu menambahkan kata mesum dalam resumemu!"

Membabi buta aku menghajarnya, sungguh sangat kelewatan caranya bercanda, dan tawa yang meluncur dari teman-teman kami sangat menghina. Kalimatnya, gesture tubuhnya benar-benar sebuah pelecehan yang membuatku jijik pada diriku sendiri. Seburuk apa aku ini sampai harus mendapatkan lontaran kalimat mengerikan itu sebagai sapaan? Tidak adakah kalimat yang lebih pantas saat aku memintanya bergeser? Haruskah kalimat itu yang dia pilih? Semua hal tersebut berkecamuk di dalam hatiku membuat kekesalanku berkali-kali lipat, namun sayangnya niatku untuk menghajarnya harus terhenti saat Robin dengan kekuatan yang tidak terduga dari seornag yang berwajah sangat lembut, memisahkanku, atau lebih tepatnya dia mengangkatku agar tidak terus memukuli Dylan.

"Bunga, Demi Tuhan kendalikan dirimu!"

Suara tegas yang tidak terduga tersebut membuatku membeku, beberapa dari temanku tersebut rupanya sudah bangkit dan berusaha melepaskanku dari Dylan namun yang berhasil hanya Robin. Setengah memaksaku, Robin memintaku untuk berdiri tegak, dan saat itulah kesadaranku kembali. Sama sepertiku yang terengah-engah menahan emosi, Dylan yang menjadi korbanku pun sama, dia sepertinya juga terkejut karena aku menyerangnya. 12 tahun tidak mengubah apapun, dan sama seperti dulu saat dia hanya bisa tertawa saat sukses membuatku kesal diperpustakaan kini dia pun tergelak dengan bibirnya yang terus menerus mencibirku.

"Bunga, Dylan tidak bermaksud melecehkanmu. Percayalah, bahkan aku yakin jika dia impot3n." Kekesalanku yang sempat aku rasakan seketika menguap saat Rain dengan tololnya mengeluarkan sebuah kalimat yang akhirnya membuatku terdiam antara geli dan tidak percaya, sementara dirinya sendiri mendapatkan geplakan renyah dari tangan Dylan yang hampir selebar kepalaku.

"Mulut lo, Rain! Sembarangan! Gue normal bego!" Puas memaki Rain yang membalasnya dengan tertawa sosok sombong itu menoleh ke arahku, bibir menyebalkan tersebut melengkung mengedikkan kepalanya ke samping kursinya. "Diamlah Farida, dan jangan rewel. Duduk disini, dan jangan protes, 12 tahun tidak bertemu, tapi kelakuanmu masih sama barbarnya seperti anak TK berusia 7 tahun! Apa seperti ini sikap seharusnya seorang dokter? Diskriminatif pada seseorang?!"

Aku ingin membantah kalimat tidak menyenangkan yang dilontarkan olehnya, diskriminatif, tentu saja tidak, dalam sumpah dokter yang aku pegang semua pasien dan manusia adalah setara, dan berani-beraninya dia berbicara kepadaku seperti ini.

"Kamu bisa duduk di kursiku, Bunga." Robin yang merasa tidak nyaman dengan perdebatanku dengan Dylan mencoba mencari jalan tengah, tapi belum sempat aku menjawab, suara dingin dan membosankan itu sudah mendahuluinya.

"Dan membiarkan Putri kesayangan Miss-ku ini bersama dengan mantan pembully-nya. Tidak, aku tidak mengizinkan."
Reflek aku menoleh ke arah kursi Robin, aku terlalu terkejut dengan kehadiran Dylan dengan segala perubahannya hingga tidak memperhatikan jika Vita, seornag yang pernah membuatku menangis karena mengerjai kursiku dengan lem kayu hingga rokku robek di UN terakhir, menyeringai tidak nyaman di ujung sana. Jujur saja, sama sepertiku yang agak terkejut dengan perubahan Dylan, Vita pun sama. Dia berubah, dagunya yang bulat menjadi runcing, tirus, dengan hidung mancung, dan saat dia tersenyum, giginya tervenner meskipun aku agak meringis melihat bentuknya yang seperti geraham semua, tapi yang membuatku agak syok adalah kulitnya yang benar-benar putih. Seketika aku menyesal tidak pernah hadir di pesta Robin, terlalu banyak yang berubah hingga aku merasa nyaris tidak mengenali mereka.

"Kita bukan lagi murid kelas 12, Lan. Berhentilah berpikir buruk tentangku." Wajah cantik tersebut merengut, membuat Dylan semakin mencibirnya sebelum dia kembali melihatku dan menepuk sisi kursinya.

"Duduk, Da. Jangan mengeluh, asal kamu tahu, reaksimu yang hobi memukulku adalah pertunjukan yang mereka rindukan dari kita."

Aku mendesah pelan, enggan untuk berdebat lagi dan memilih duduk bersama dengan anak kambing, mengaminkan apa yang baru saja dia katakan sembari meraih segelas long island yang tersaji, di bandingkan duduk dengan Vita, aku lebih memilih duduk di pangkuan Dylan, percayalah. "dan sepertinya aku bersikap seperti yang kalian inginkan, kan? Cheers, senang bertemu dengan kalian kembali."

My Sexy EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang