"Kalau lo sampai nggak datang ke acara ulang tahun gue kali ini, demi apapun, gue bakal bom klinik lo!"
Sebuah pesan singkat yang dikirimkan oleh salah satu teman semasa SMAku membuatku meringis sendiri. Robin, pria tampan yang wajah glowingnya membuatku insecure tersebut mengirimkan sebuah pesan namun aku merasa jika dirinya sendirilah yang berbicara dan melontarkan ancaman. Berbeda dengan Bramastha yang malam menyaru menjadi Briana, Robin adalah seornag makeup artis yang cowok tulen meskipun wajahnya selicin papan tulis kelas, jadi tetap saja aku ngeri-ngeri sedap saat undangan pesta ulang tahunnya beralamatkan di sebuah Night Club yang sebenarnya cukup terkenal dikawasan Kemang, astaga, melihat nama yang tertera saja sudah membuatku meringis.
Perlu digarisbawahi selicin apapun wajah Robin dan semerah apapun bibirnya yang menggunakan lipbalm tetap saja dia seornag pria.
"Dok, dokter nggak apa-apa?" Sebuah sentuhan ringan aku rasakan di tubuhku, dan saat aku mendongak aku menemukan Theresia, salah satu perawat yang membantu di klinikku menyentuhku, rupanya aku melamun saat di panggil olehnya berulangkali.
"Aaahhh, nggak apa-apa, Re. Cuma....." untuk sejenak aku berpikir apa aku harus menceritakan hal ini kepada salah satu stafku atas apa yang membuatku gamang sampai akhirnya aku memutuskan untuk bercerita. "Robin ngirim pesan kek gini, menurutmu aku harus datang atau nggak, Re?"
"Lah cuma undangan ultah apa salahnya, dok! Pantas saja dia ngancem, dokter nggak pernah datang kali ya ke pestanya mas Robin?" Tanyanya yang langsung aku balas dengan gelengan. "Kenapa nggak mau datang, dok. Kan lumayan bisa ilangin pusing, dokter sih tiap hari cuma baca buku, periksa pasien, apa nggak bosen hidup kayak gitu terus?"
"Tapi kan di Club, Re. Aku nggak suka tempat itu." Lirih ku pelan, mengungkapkan kejujuran, dan sungguh untuk selanjutnya aku merasa menyesal menyadari kebodohanku yang membuat rahang Tere sampai terjatuh tidak percaya.
"Dok, ini tahun 2024 dan usia Anda 29 tahun, dan Anda tidak menyukai Club? Astaga, jangan bilang kalau setiap malam minggu setiap kali Anda pergi, yang seharusnya nonton atau kencan, Anda justru pergi ke perpustakaan nasional! Ya Tuhan, saya tidak tahu harus menangis atau bersyukur dengan keadaan Anda ini. Pantas saja Anda jomblo, dok!"
Aku ingin menghilangkan raut wajah menyebalkan Tere tepat di depanku, sayangnya aku tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk hal tersebut hingga yang bisa aku lakukan hanyalah berdesis dan mengumpat. Ya Ampun aku tidak seculun itu. Aku hanya tidak suka keramaian dan bau alkohol, tapi semakin berucap aku akan semakin terlihat menyedihkan.
Hingga akhirnya memilih menghindari perdebatan aku memilih untuk bertanya. "Jadi seharusnya aku menghadiri acara Robin?"
Tere yang mendengar jawabanku sontak saja langsung berbinar. "Tentu saja, ayolah Bu dok, Club nggak cuma tempat mabuk-mabukan doang. Kadang relasi bisnis bisa terbangun dari sana, apalagi Club elite sejenis AXCE, udah pasti sekelas ekspatriat atau minimal Manager seniorlah yang kesana. Bukan yang huru-hara nggak jelas."
Otakku masih mempertimbangkan segala jawaban yang ingin aku ambil sampai akhirnya pesan lain dari Robin membuatku tidak bisa berkata tidak.
"Datang sendiri atau mau gue seret!"
Jika sudah seperti ini bisa apa aku selain mengatakan iya diikuti dengan serentetan umpatan kepada pria cantik tersebut. Dan disini lah akhirnya aku berada, meninggalkan klinik yang sudah selesai praktik, berdandan agak berani, dengan dress hitam dengan punggung terbuka yang pasti akan membuat Papa terkena serangan jantung saat melihatnya. Dengan bermodalkan undangan dari Robin aku menembus keramaian manusia, waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit tapi tempat ini sudah begitu ramai. Bau alkohol menyeruak bercampur dengan wangi parfum yang beraneka baunya. Aku sama sekali tidak kesulitan berjalan karena memang belum dimulai kegilaannya.
Perlu beberapa saat untukku mencari-cari tersangka yang membuatku terdampar ditempat yang sangat tidak aku sukai ini saat sebuah teriakan memanggil namaku.
"Bunga, oyyy diatas sini! Ada yang kangen sama kon!
Yah, dan disana lah tersangka yang membuatku akhirnya tersenyum masam saat menghampirinya, heels yang aku pakai menghentak keras memperlihatkan keenggananku untuk bergerak, tapi saat akhirnya aku sampai di table yang sudah dipesannya, langkahku seketika membeku saat melihat seornag pria dengan tinggi nyaris dua meter tersebut duduk dengan angkuhnya seolah dia adalah pemilik tempat ini. Tatapannya menyorot tajam ke arahku, mencibir pelan seolah tengah mengejek.
"Dylan......"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Enemy
RomanceBunga kira dirinya mengenal Dylan. Sejak umur 7 tahun mereka bersekolah ditempat yang sama sampai akhirnya Bunga harus pergi ke Ibukota untuk mengenyam pendidikan mengikuti kemauan orangtuanya, sejak saat itu Bunga tidak pernah melihat Dylan. Sosok...