Bab. 4

181 5 0
                                    


   Martin berjalan cepat keluar dari hutan alas roban. Ia membuang botol kosong bekas madu ke semak belukar. Ia memutuskan untuk tidak menoleh kebelakang lagi. 
     Lari, lari Martin! Isi otaknya berputar- putar . Wajah Surti berkelebat dipelupuk matanya. Dibawah pohon besar Martin berhenti melangkah, lelaki itu fokus mencari jalan setapak , jalan keluar menuju jalan raya.  Ia mengeluarkan sebuah senter dari saku jaketnya. Senter itu sudah ia siapkan dari rumah. Ia menyalakan lampu senter berjalan santai menyuduri jalan setapak yang ia temukan sehari sebelumnya. Lelaki itu sudah merencanakan pembunuhan tersebut.
    Hampir dua puluh menit kemudian ia sampai di pinggir jalan raya alas roban. Ia berdiri menunggu ketika sebuah mobil bus malam dari jakarta lewat. Bus itu membunyikan klakson kencang dua kali. Lampu bersinar menyilaukan mata Martin.
    Martin menghalau sinar sorot lampu bus dengan menutup mata dengan kedua tanganya. Ia menunggu bus itu lewat. Setelah bus melewati dirinya, ia menyeberang menghampiri motor vespanya, bergegas menghidupkan mesin motor dan langsung tancap gas berlalu dari tempat itu.
    Motor melaju kencang lurus kedepan  keluar dari alas roban.
    Martin bernapas lega ketika akhirnya motornya sampai didepan pasar Plelen yang sudah dalam keadaan sepi. Ia berhenti sebentar didepan toko kelontong yang sudah tutup. Pandanganya kearah atas kearah jalan alas roban diatas sana.  Ia perlu menenangkan hatinya yang berdebaran tak terkendali.  Ia seorang pembunuh sekarang. Pembunuh berdarah dingin. Lelaki itu mengeleng- geleng tak mengira bahwa dirinya nekat menghabisi nyawa  kekasih gelapnya.
   Martin kembali menghidupkan mesin motor  untuk kembali kerumahnya didaerah Mentosari gringsing.  Masalahnya sudah terselesaikan sekarang, ia berharap semoga tak ada yang mengetahui akan matinya Surti didalam hutan alas roban.
      Hampir dua puluh menit berselang ia sudah sampai di depan rumah megahnya. Rumah mewah dua lantai.
    Dibelakang gerbang rumah  isterinya Marwah  telah menunggu kepulangannya.
   Marwah bergegas membuka pintu gerbang membiarkan suaminya untuk masuk kedalam rumah. Marwah bertubuh gemuk. Tubuhnya berisi seonggok danging lemak, wanita itu menunggu dengan mimik wajah kesalvdan marah.
  " Dari mana kamu ,pa?" tanya dengan suara parau  dibakar emosi " dari Nondan?"
  Martin memakirkan motornya di samping mobil kijang birunya , tak menghiraukan kemarahan isterinya.
  " jangan mulai mah, aku capek!"
  " capek dengan gundik lontemu itu ya?"
     Martin berjalan menuju pintu rumah. Ia memutuskan untuk mandi malam membersihkan diri dari aroma hutan alas roban  dan tentu saja bau tubuh Surti. Ia yakin pembunuhan yang ia lakukan tak akan meninggalkan jejak apapun. Perempuan itu sudah mati tidak meninggalkan bekas apapun, jasadnya sudah dimakan kawanan monyet- monyet alas roban
  " Jangan bawa penyakit dirumah ini!" teriak isteri Martin terus memgikuti kemanapun Martin pergi. Wanita gemuk itu belum hilang rasa emosi dan marah pada suaminya." kau main perempuan perek"
   "Sudah jangan berisik Mah, nanti ank-anak pada bangun karena suara teriakkanmu"
  " Biar mereka tahu siapa bapak mereka, suka menghambur- hamburkan uang untuk pelacur"
     Martin  duduk disofa di ruang keluarga didepan televisi tabung hitam putih 31 ' ia memutuskan untuk tidak meladeni lagi semua kemarahan isterinya. Ia terlalu pusing  dengan semua yang terjadi dalam hidupnya.
    Kedua putri mereka terbangun berdiri ketakutan diujung anak tangga lantai atas. Wajah keduanya terluhat kuatir dan gelisah melihat kegaduhan kedua orang tua mereka.
" Lihat, kau membuat kedua putri kita terbangun!"
    Marwah melirik sekilas kepada keduanya. " Tidur kalian!"
     Kedua anak remaja itu berjalan menuju kekamar masing- masing.
    Martin menyalakan sebatang rokok, mencoba bersikap tenang. Ia tak ingin bertambah pusing dengan sikap isterinya itu .
   Marwah duduk disamping suaminya, perempuan itu sepertinya belum mau melepaskan kemarahannya terhadap suaminya.
   " Malam ini, aku sudah memutuskan  Surti" kata Martin suara tercekat di tenggorokan. Ia menghirup asap rokok dalam- dalam sanpai asap itu memenuhi rongga otakya yang sedang kalut.
    Marwah melongo tak percaya ada setitik rasa bahagia disudut wajahnya mendengar pengakuan dari mulut suaminya " kau tidak bohongkan pah?"
      Martin mengangguk pelan.  " kau senang?"
    Marwah hanya terdiam membisu tak percaya dengan omangan dari mulut suaminya mengingat belum lama ini gundik suaminya sudah mulai terang- terangan menyambangi rumahnya mengatakan bawah dia adalah kekasih suaminya.
    Martin mematikan rokoknya seraya bangkit berdiri  pergi meninggalkan isterinya yang masih terheran-.heran dengan pengakuan Martin.
  " Aku masih tidak percaya"ujar Marwah berguman sendiri.  Perempuan gemuk itu kembali mengikuti suaminya menaiki anak tangga yang terbuat dari marmer berkualitas menuju lantai atas.
    Sesampainya didalam kamar, Martin bergegas melepas seluruh pakaiannya dan masuk kedalam kamar mandi. Suara air mengalir terdengar.
     Marwah duduk dipinggir ranjang mewah berukuran king bed. Ia ingin menyakinkan lagi bahwa suaminya tidak membohonginya lagi dan lagi.
    Martin mengguyur tubuh telanjagnya dibawah shower mandi. Tak dihiraukan rasa dingin. Di otaknya terus saja berloncatan kejadian di alas roban.  Tubuh Martin merosot kelantai kamar mandi. Kepalanya masih terasa sakit berdeyut - deyut. Selamanya ia akan dihantui rasa bersalah dan dosa dengan apa yang telah ia lakukan.
     Kalau ia diam dan bersikap normal dan wajar tak akan ada yang curiga akan kematian Surti. Sebisa mungkin Martin menjauh dari tempat dimana Surti bekerja dikawasan  tenpat biasa ia mangkal menyalurkan kebutuhan biologisnya yang tak ia dapat dari isterinya Marwah.
   Aku harus tenang, semua akan baik- baik saja selama aku bersikap tenang dan terkendali.  Tak ada yang curiga akan perginya Surti dan kematian Surti.  Yang paling penting untuk saat ini adalah menenangkan kemarahan isterinya. Itu yang penting.
    Selesai mandi  dengan masih bertelanjang ia mendekati isterinya yang duduk ditepi ranjang masihbdengan muka kesal. Ia memeluk pundak Narwah mencium pipinya lembut.  " sudah jangan marah"
      Marwah membalas ciuman Martin dengan menangkup wajah lelaki itu. Ia membenamkan wajahnya yang bundar kedalam dada Martin
    Martin memejamkan mata, mencoba menjauhkan kepala Marwah dari dadanya. Jujur bagi Martin sudah tidak ada rasa napsu biologis pada perempuan itu.  Rasa itu sudah hilang sejak lama sekali. Sejak  bobot Marwah hari demi hari bertambah gembrot. Maka itu untuk menyalurkan kebutuhan batin Nartin lari ke lokalisasi tempat para perempuan penjaja cinta mangkal.
Martin tidak bisa berbuat  banyk. Bisa saja ia meninggalkan wanita itu dan pergi dengan wanita lainnya tapi tidak semudah itu. Marwah adalah aset hidup Martin. Sejak dulu ia tahu Marwah adalah pewaris  tunggal jaringan toserba milik papa Marwah dan perempuan gembrot isterinya itu adalah sumber hidup Martin tanpa dia Martin akannjadi lelaki gelandangan dipinggir jalan.
  Martin tersadar ketika Marwah mulai berubah bertambah napsu mencium bibirnya kalap sampai ia gelagapan karena susah bernapas.
     Martin membanting tubuhnya diatas ranjang empuk untuk tidur. Ia tidur telentang dengan menutupi kedua matanya dengan tangannya. Ia menyakinkan dirinya bahwabesok pagi semua akan baik- baik saja. Dunia akan terus berputar dengan hilangnya satu manusia dari muka bumi ini.
Tak lama ia terlelap dalam alam mimpi.

    
 
  

ALAS ROBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang