Kota Kendari beserta Kawan-kawanku

4 0 0
                                    

Saya baru beberapa hari tinggal di Kota Kendari, rasanya sudah begitu tua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya baru beberapa hari tinggal di Kota Kendari, rasanya sudah begitu tua. Semuanya. Dibanding Surabaya, Kendari menyeret waktu begitu cepat.

Kota ini dipaksa dewasa. Di tanahnya yang masih merah dan ditumbuhi tunas-tunas Kersen segera ditimbun. Lalu dibangun jalanan mengular yang mengitari Kantor Gubenur yang di pinggirnya kemudian lekas berdiri took-toko material milik para haji dan warung-warung semi permanen orang-orang rantau. Serta kelak kata kawan-kawanku yang sudah bekerja dan mendapat proyek di pemerintahan akan dibangun pabrik baterai merupakan bagian penting dari ekonomi pertambangan hara nikel yang dinaungi kota ini beberapa tahun belakangan.

Kawan-kawanku dari Kendari yang dulu kuliah di Jawa, juga yang kubersamai masa kecilnya di pulau, telah menyiasati hidup mereka untuk melebur bersama proyeksi kota ini. Yang kini, telah sepenuhnya bergantung pada pertambangan nikel. Apa yang ada di cerita mereka adalah tentang narasi kemajuan kota ini yang menurut mereka makin banyak didatangi para investor.

Maka, kawan-kawanku yang kini sudah berpakaian nercis dengan kemeja yang dibeli di Lippo Mall, menguras pikiran dengan mulai mencari cara membangun perusahaan sendiri. Satu kawanku mengusulkan tentang membuat usaha outsourcing. Satu lagi menyarankan tentang PT tambang yang bisa diinvestasi politisi dan saudagar Arab.

Di kerumunan diskusi pembangunan yang metropolis itu, saya hanya memikirkan membuat warkop. Duduk membaca koran Jawa Pos sembari sesekali menonton Persebaya atau Timnas yang takluk, dan berharap kawanku yang seorang jurnalis kriminal segera datang dan mentraktrir es kopi Good Day Freez.

Kawan-kawanku di Kota Kendari telah tumbuh bersama kota ini. Mereka tinggal di rumah sendiri di satu perumahan BTN yang tenang. Sebagian dari mereka sudah menikah dan punya anak. Di tubuh mereka tampak kesejaterahan. Kawan-kawanku yang dulu tiap sore bermain masak-masakan kini punya pipi dan perut yang mengembang.

Sementara saya? Masih menulis ini, meratapi nasib seolah orang yang paling sukar hidupnya, dan saya masih menumpang di rumah salah satu kawanku yang bujang tapi sudah punya rumah. Saya masih orang yang suka membaca buku dan mencoba menjadi mesias kebudayaan yang utopis. 

Narasi Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang