Jeongwoo membiarkan Haruto berjalan masuk sendirian kedalam rumah setelah turun dari mobil. Haruto baru diperbolehkan pulang siang ini dari rumah sakit. Walau cuma satu hari dirawat inap, dan di hari itu juga Jeongwoo mengetahui kalau ruam yang Haruto sebut waktu itu bukanlah ruam melainkan lebam yang Jeongwoo lihat kemarin sudah membiru. Dokter bilang jika lebam yang Haruto alami seperti akibat dari benturan keras atau tekanan berlebihan pada bagian-bagian memar yang Haruto dapatkan dilengannya.
Well bukan tanpa alasan Jeongwoo baru mengetahuinya. Beberapa minggu terakhir Haruto hanya mengenakan pakaian panjang dan tertutup. Jeongwoo juga tak kepikiran untuk menanyakan hal tentang pakaian panjangnya. Dan yang menyakitkan, ia menyadari Haruto telah berbohong padanya.
Apa yang Haruto coba sembunyikan darinya? Memangnya kenapa jika Jeongwoo mengetahuinya?
Semua pertanyaan mencoba berontak dikepalanya membuat Jeongwoo berakhir mengusak rambutnya kasar. Semakin menatap punggung Haruto yang akan habis terhalang ruang kamar didepan, maka Jeongwoo semakin frustasi karna suara-suara dikepalanya saat ini, tak ada satupun yang ia tanyakan pada Haruto.
Dalam helaan nafasnya Jeongwoo berpikir akan mencoba mengobrol dengan Haruto nanti. Ia akan membiarkan Haruto beristirahat di kamarnya dulu selagi ia berpikir bagaimana caranya ia bertanya dengan baik. Sungguh, dalam hatinya Jeongwoo hanya ingin Haruto lebih terbuka dengannya terkhusus tentang hal-hal di kampus yang tak pernah Haruto ceritakan.
Kini Jeongwoo mencoba menyibukkan diri dengan bahan-bahan dapur, berpikir keras membuat sesuatu untuk dimakan, walau saat ini pikirannya benar-benar tak terkendali. Ia masih ingat kata-kata dokter tadi;
"Memarnya terlalu parah. Lengannya bahkan terasa dingin karna terlalu banyak pembuluh darah kapiler yang pecah di dekat permukaan kulitnya, dan saya juga menemukan beberapa di punggung. Jadi untuk saat ini berikan nak Haruto beberapa resep obat dan vitamin dari kami dan mungkin sesekali nak Jeongwoo bisa memberi kompresan air hangat pada bagian memarnya. Oh ya, saya ingin memastikan, apakah nak Haruto pernah mendapat cidera traumatis? Maksud saya ini tidak akan terjadi separah ini jika hanya karna benturan atau tekanan biasa"
Hanya sampai di situ dan yang Jeongwoo ingat ia tidak menjawab pertanyaan dokter di akhir karna ia memang tak tahu apapun. Saat matanya melihat sup yang ia buat sudah matang, ia mematikkan kompor dan membawa dirinya untuk duduk di sofa. Bagaimana Jeongwoo menjelaskan nanti dengan tante Icha? Apa yang harus ia lakukan jika sampai Mama tahu keadaan Haruto sekarang?
Terlarut dalam pikiran kritis hingga Jeongwoo menutup mata dan membiarkan raganya rehat sejenak.
Saat matanya terbuka hal pertama yang ia lihat adalah jam yang menunjukkan pukul 9 malam. Cukup tercengang dengan itu, ia baru merasakan seluruh badaanya kram karna terlalu lama tidur dalam posisi yang sama. Matanya melirik ke arah dapur. Tidak ada bekas piring dan alat makan lain di atas meja. Berganti melirik ke kamar Haruto yang pintunya tak tertutup rapat―sama seperti awal saat ia lihat siang tadi.
'Ruto belum bangun?'
Beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar Haruto, ia hanya ingin membangunkan Haruto untuk makan. Mungkin mengobrol bisa ia lakukan esok hari, pikirnya.
Sampai telinganya mendengar sesuatu. Awalnya bingung berasal darimana tapi semakin Jeongwoo berjalan menuju pintu suara itu semakin jelas. Baru Jeongwoo sadari itu suara tangisan. Perlahan ia buka lebih lebar pintu dan mengintip sedikit ke kasur, yang kini ia lihat Haruto dalam keadaan tidurnya sedang menangis.
Dengan cepat Jeongwoo masuk dan mencoba memanggil Haruto dengan pelan agar tak membuatnya terkejut. Tapi Haruto tak berhenti, Jeongwoo semakin di buat panik saat Haruto juga semakin kuat menangis.
Saat itu yang terlintas dipikirannya adalah Mama yang selalu mengelus kepalanya saat Jeongwoo kecil mengigau dimalam hari. Ia mulai menerapkannya pada Haruto dengan mengelus pelan kepalanya, sebelah tangannya juga dengan sigap mengusap lembut dahi Haruto yang mengkerut, berharap ia bisa tenang dan lepas dari mimpi buruknya.
Haruto semakin tenang, tapi Jeongwoo sadar ternyata sedari tadi Haruto meracau dengan lirih kata "Jangan!" yang hampir tak terdengar itu. Suaranya seakan menghilang tapi mulutnya masih bergerak mengucapkan kalimat yang sama. Jeongwoo coba melemparkan kalimat penenang seperti "Aku ada di sini, tenanglah" dengan pelan di samping telinga Haruto.
Dirasa Haruto sudah kembali damai dan nafasnya kembali teratur, Jeongwoo akan beranjak hingga Haruto yang tiba-tiba terbangun saat usapan jari jempolnya lepas dari dahinya. Jeongwoo berhenti bergerak saat Haruto menatapnya, dan tanpa aba-aba Haruto menarik tengkuk Jeongwoo lalu membawa bibir satu sama lain untuk saling bertemu.
Jeongwoo yang kaget bukan main menatap Haruto yang memejamkan matanya. Apa yang terjadi? Apakah Haruto sadar ia melakukan ini?
Dengan refleks Jeongwoo menarik diri karna ia berada di atas badan Haruto. Kedua tangannya bertumpu di kedua sisi Haruto yang ternyata kembali dalam tidur damainya. Nafas Jeongwoo begitu memburu, matanya menatap wajah Haruto yang sembab tertidur begitu pulas.
'Hanya mengigau yah?'
Secepat kilat ia beranjak dari kasur dan berlari pergi ke kamarnya di atas. Ia tak peduli jika Haruto terganggu dan kembali terbangun karnanya, saat ini Jeongwoo benar-benar panik seperti serangan jantung. Ia mengunci pintu kamarnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia begitu malu dengan kejadian beberapa saat.
Dan tak lama Jeongwoo seperti orang kesetanan berlari kekasur dan membungkus dirinya sendiri dengan selimut saat dirinya menyadari perutnya begitu geli jika ia memikirkan bibir milik Watanabe itu menempel pada miliknya.
🦋🐺🦋🐺
Aku mau bilang di awal, bacanya abis magrib atau pas sahur aja tpi klo udah terlanjur ͡° ͜ʖ ͡° kita sama² deh ya...
E tpi kissue doang gk pp kan? Ya kecuali ngebayanginnya kejauhan si awokaowk