45. Pilihan Lain

16 4 1
                                    


Di tangga sekolah yang sunyi, Niko duduk menyendiri seraya merenungi masa lalunya. Semua masa lalu yang dia lewati dengan susah payah, perlahan muncul lagi ke permukaan. Dengan datangnya gadis itu ke ruangan C-305, membawa berita akan perundungan dirinya, membuat Niko pesimis untuk meneruskan tujuannya.

Dengan energi yang lemah, dia meraba saku celananya, mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang.

"Jovi, kau di mana?" Tanya Niko bernada lesu.

"Masih di sekolah, ada apa?"

Niko terdiam sejenak lalu meminta Jovian untuk menemuinya. "Bisa datang ke tangga koridor lantai 4?"

"Bisa aja, sih.." Jovian yang agak heran bertanya balik. "Niko? Kau gak apa-apa 'kan?"

"Enggak," Niko menurunkan ponselnya dengan eskpresi putus asa. "Aku tunggu," Tambahnya seraya mematikan ponsel.

10 menit kemudian, Jovian bertemu dengan Niko yang duduk di anak tangga dengan dikelilingi aura keputusasaan. Ini menjadi kedua kalinya Jovian melihat sisi itu dari sahabatnya. Dia pun duduk di sebelahnya dengan wajah cemas sembari menanyakan tujuan Niko menyuruhnya datang ke sini.

"Hey, ada apa?" Tegur Jovian heran.

"Kau ingat dulu kita pernah menolong gadis di gedung olahraga? Sama Oliv juga,"

Jovian mengingat-ingat kejadian tersebut, sudah lama rasanya peristiwa itu berlalu. "Yang kita bolos jam pelajaran?"

"Bingo!"

"Memangnya ada apa?" Tanya Jovian lagi, kali ini sangat penasaran.

"Gadis yang kita tolong dulu, sekarang dapat ancaman pembulian," Beber Niko dengan bibir merengut.

Mendengar ucapan Niko barusan, Jovian tercengang dengan mata terbelalak. "Jadi? Yang kita lakukan sia-sia?"

"Mungkin!" Niko menatapnya dengan intens. "Ramalan lain mungkin bakal terjadi lagi, tanpa kita tau!"

"Ugh!" Jovian menggaruk belakang kepalanya. "Benar-benar gak masuk akal!" Celanya pelan.

Jovian langsung skeptis setelah mendengar itu semua dari Niko. Mereka yang dulunya terbakar api semangat demi menolong banyak orang dari ramalan buruk, kini terjebak dalam rasa putus asa di ujung tanduk. Semua hal yang mereka lakukan, hanya menunda kejadian tersebut terjadi di masa depan.

Keduanya merenung bersama, menyadari apa yang sudah mereka capai akhirnya kembali ke dasar jurang terdalam. Yang mereka takutkan, seorang gadis yang hendak bunuh diri dulu mungkin akan melakukan hal serupa di masa depan.

***

Pukul 17:04, petang itu berubah menjadi mendung dan hujan gerimis. Berbondong-bondong orang menepi di halte dan kafe terdekat untuk berlindung, tapi tidak untuk Niko yang berjalan dengan rasa hampa dan kekosongan.

Seandainya berhasil nolong Kouko waktu itu.. mungkin takdir kematiannya gak bisa diubah. Pikir Niko cemas.

Dia sampai di pemakaman kota dan langsung melangkahkan kakinya menuju makam Kouko. Di sana, dia duduk di bawah guyuran hujan yang mulai deras. Membiarkan tubuhnya diterjang banyakan rentetan air.

"Kouko, apa kabar." Sapanya pada Kouko. "Semuanya gak berjalan baik, ya?"

Dia mengepalkan kedua tangannya dengan rasa geram, lalu menambahkan. "Kalau dulu kau ikut aku pulang saat festival, apa mungkin kau masih hidup? Atau tetap meninggal dengan cara lain?" Tanyanya bimbang dengan wajah tegar.

Air matanya tumpah bercampur tetesan hujan yang melewati pipinya. Dengan rasa marah bercampur sedih, Niko memukul-mukul makam Kouko dengan penuh emosional. "APA PUN YANG TERJADI, KAU TETAP AKAN MENINGGAL 'KAN? AKU RASA ADA YANG SALAH SAMA DUNIA INI!"

Mirai [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang