Surat Gamon di Akhir Januari

39 7 2
                                    


Januari di Magelang kali ini terasa lebih dingin dari biasanya. Suhu yang jatuh di bawah nol membuat setiap tarikan napas Sintia terasa seperti menyedot udara es yang menggigit. Langit kelabu menggantung di atasnya, menciptakan suasana yang sepi dan hampa—seperti hati Sintia sejak berpisah dengan Husen.

Sudah hampir setahun sejak Sintia pindah ke Semarang untuk mengejar karirnya. Husen, yang dulu begitu dekat dengannya, perlahan berubah menjadi sosok yang tak lagi ia kenali. Percakapan mereka yang hangat lewat WhatsApp mulai memudar, hingga akhirnya hanya menyisakan satu atau dua kata yang kering dan dingin.

Pada pertengahan Januari, Husen tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Tak ada kabar, tak ada pesan, dan tidak ada penjelasan. Sintia mencoba menghubunginya berkali-kali, namun pesan-pesannya hanya diabaikan. Hatinya semakin berat dan sesak, namun di dalam kesunyian Semarang, dia tak tahu kepada siapa harus berbicara.

Lalu datanglah akhir Januari. Hari itu seperti hari-hari lainnya, dingin dan sunyi. Sintia baru saja pulang dari kantor, matanya lelah setelah seharian bekerja di bawah tekanan proyek yang menumpuk. Dia duduk di sudut apartemennya, memeluk secangkir teh hangat, ketika ponselnya berbunyi. Bukan pesan WhatsApp yang dia tunggu, melainkan email.

Dari Sintia, dengan jantung yang berdebar, Husen membuka email itu.

Subjeknya singkat: "Surat Gamon"

Husen tak langsung memahami maksud dari kata itu. Tapi ketika dia mulai membaca isinya, dadanya terasa dihantam badai emosi.

"Husen,

Aku tahu ini mungkin terlambat dan kamu sudah tak lagi peduli. Tapi, aku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini kutahan. Ini mungkin akan terdengar seperti alasan basi atau pembelaan diri yang tidak pantas, tapi aku harus jujur.

Gamon. Mungkin kamu pernah dengar istilah itu, atau mungkin tidak. Itu adalah kata dalam bahasa Jepang yang berarti 'sulit untuk move on'. Dan begitulah yang kurasakan selama setahun terakhir. Bukan tentang kita, tapi tentang hidupku. Tentang ketidakmampuanku untuk keluar dari lingkaran kesalahan yang terus kubuat.

Sejak kamu pergi ke Jepang, aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku terlalu takut untuk menghadapimu, untuk mengakui bahwa aku bukan orang yang cukup baik untukmu. Aku merasa gagal, dan setiap kali aku melihat kesuksesanmu, aku semakin tenggelam dalam rasa gamon ini. Aku tak bisa berdiri sejajar denganmu.

Aku bukan orang yang mampu mendukungmu seperti seharusnya. Aku merasa kerdil di depan keberhasilanmu. Kamu semakin tinggi terbang, sementara aku hanya tertinggal di sini, berputar-putar di tempat yang sama. Aku memilih menghilang karena aku tidak tahu cara menghadapimu. Pesan-pesanmu, perasaanmu, semua itu membuatku merasa semakin tidak layak.

Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu kecewa. Dan kamu berhak untuk merasakan itu. Tapi aku harap kamu tahu, bahwa semua ini bukan karena aku tak peduli. Aku gamon, Husen. Aku tersesat dalam rasa tidak bisa melepaskan diri dari ketakutanku sendiri.

Di akhir Januari ini, aku tidak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sadar akan kesalahan-kesalahanku. Dan aku berharap kamu menemukan kebahagiaan di sana, di tempat yang kamu pilih, tanpa harus terbebani oleh seseorang yang penuh ketakutan dan keraguan sepertiku.

Selamat tinggal,

Sintia"

Mata Sintia berkaca-kaca saat menyelesaikan menulis surat itu. Perasaan bercampur aduk—antara marah, kecewa, dan kasihan. Dia merasa gamon bukan hanya milik Husen, tapi juga miliknya. Selama ini, dia juga terjebak dalam penantian tanpa jawaban, tak bisa melepaskan harapan akan hubungan yang mungkin tak pernah memiliki masa depan.

Sejujurnya, Sintia ingin sekali mengirim pesan dengan kalimat-kalimat penuh kemarahan, menyalahkan Husen atas rasa sakit yang selama ini ia pendam. Namun, di saat yang sama, dia menyadari bahwa surat ini adalah cara Sintia untuk mengucapkan selamat tinggal. Ini adalah penutupan dari babak panjang yang penuh ketidakpastian. Sebuah babak yang akhirnya usai, meski dengan luka yang masih terasa dalam.

Pada akhirnya, Sintia hanya menutup email itu dan meletakkan ponselnya. Surat Sintia, meskipun menyakitkan, memberi Husen kejelasan yang selama ini ia cari. Dia sadar, kini sudah waktunya untuk benar-benar melangkah maju, tanpa membawa bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.

Sintia dengan segala rasa gamonnya telah memilih jalannya sendiri. Dan begitu pula dengan Husen. Di akhir Januari itu, dia menyadari bahwa hidupnya tidak harus terikat pada seseorang yang tak mampu bergerak maju. Dia menghela napas panjang, memandangi pemandangan malam Semarang yang sunyi, dan untuk pertama kalinya, dia merasa siap untuk benar-benar meninggalkan semua yang telah berlalu.

Dengan hati yang lebih ringan, Sintia memutuskan untuk tidak menoleh lagi ke belakang. Masa depannya ada di depan, di kota asing yang kini menjadi rumah barunya—tanpa Husen, tanpa beban, dan tanpa gamon yang mengikat.

Ayu Nirmala | 28/01/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang