Di balik Topeng Keluarga

52 6 1
                                    



Keluarga Husen selalu terlihat sempurna di mata orang luar—ramah, bersahaja, dan penuh kekeluargaan. Setiap kali mereka bertemu dengan Sintia dan keluarganya, senyum manis terpancar dari wajah mereka, seolah tak ada satu masalah pun yang menghantui. Ibu Husen selalu menyapa dengan hangat, sementara ayah Husen sering mengajak ayah Sintia berbicara tentang bisnis dan kehidupan.

Namun, di balik semua kehangatan itu, ada sesuatu yang tidak pernah Sintia sadari. Ada rencana besar yang disusun oleh keluarga Husen, sebuah rencana yang bertolak belakang dengan hubungan Husen dan Sintia. Di luar pengetahuan Sintia, keluarga Husen telah merencanakan masa depan yang berbeda untuk Husen, sebuah masa depan yang tidak melibatkan dirinya.

Di malam yang tenang, di sebuah ruang keluarga yang luas, suasana rumah Husen berbeda. Tidak ada kehangatan seperti yang biasa terlihat di hadapan orang lain. Pak Karman, ayah Husen, sedang berdiskusi serius dengan istrinya, Bu Rina, dan anak sulung mereka, Dian.

"Aku sudah bicara dengan keluarga Arum," kata Pak Karman, sambil menghirup kopinya. "Mereka setuju dengan rencana perjodohan ini. Arum adalah anak pengusaha ternak lele yang sukses. Bisnis mereka bisa membantu memperluas usaha kita di bidang pangan."

Bu Rina mengangguk, namun tidak tampak sepenuhnya setuju. "Itu bagus, tapi aku masih berpikir kalau Adelia lebih cocok untuk Husen. Dia anak pengusaha ritel besar. Bayangkan, kalau kita bisa menjalin hubungan bisnis dengan keluarganya, kita akan mendapat akses ke jaringan ritel mereka."

Dian, kakak Husen, menimpali dengan nada tegas. "Aku setuju dengan Ibu. Adelia jauh lebih berkelas dan berpendidikan. Dia juga pintar dan paham bagaimana menjalankan bisnis. Husen butuh pasangan yang bisa mendukung kariernya, bukan hanya seorang gadis desa seperti Arum atau—" Dian berhenti sejenak, melirik dengan sinis—"apalagi Sintia."

Nama Sintia keluar dengan nada meremehkan. Bagi Dian, Sintia hanyalah seorang gadis sederhana yang tidak punya ambisi besar. Sintia dikenal sebagai anak yang baik, tapi dia bukan tipe wanita yang bisa mendongkrak status sosial keluarga mereka.

"Husen tidak akan memilih Sintia," lanjut Dian. "Dia hanya tahu pekerjaan rumah, tidak punya pengalaman atau jaringan dalam dunia bisnis. Bagaimana mungkin dia bisa membantu Husen berkembang?"

Pak Karman menatap Dian dengan dingin. "Jangan meremehkan Sintia. Memang dia bukan dari keluarga kaya, tapi anak itu jujur dan baik hati. Namun, aku setuju, dia bukan pilihan terbaik untuk masa depan Husen. Kita harus memilih yang terbaik untuk bisnis dan keluarga kita."

Di sisi lain, Husen sama sekali tidak tahu bahwa keluarganya sedang merencanakan hidupnya. Dia merasa keluarganya mendukung hubungan cintanya dengan Sintia, meski mereka jarang berbicara secara terbuka tentang perasaan Husen. Husen tahu Sintia berbeda dari gadis-gadis lain. Sintia memang sederhana, tapi di balik kesederhanaannya, Husen menemukan ketenangan dan kenyamanan yang tidak dia dapatkan dari gadis-gadis lain.

Setiap kali mereka bertemu, Sintia selalu memperlihatkan ketulusan dan kejujuran yang tidak bisa dia temukan di tempat lain. Bagi Husen, Sintia adalah gadis yang membuatnya merasa diterima apa adanya, tanpa tekanan untuk menjadi seseorang yang sempurna.

Namun, Husen mulai merasakan ada yang aneh. Beberapa minggu terakhir, keluarganya mulai mengatur pertemuan-pertemuan dengan keluarga lain tanpa sepengetahuannya. Ibu dan ayahnya sering mengundang keluarga Adelia atau Arum untuk makan malam, seolah-olah ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan bisnis.

Suatu malam, Husen memutuskan untuk bertanya langsung kepada orang tuanya.

"Pak, Bu, kenapa belakangan ini kita sering sekali bertemu dengan keluarga Arum dan Adelia? Apa ada sesuatu yang kalian rencanakan?"

Bu Rina tersenyum tipis, mencoba menghindari pertanyaan langsung. "Husen, ini hanya urusan bisnis. Tidak perlu khawatir."

Namun, Husen tidak puas dengan jawaban itu. "Apa ini soal perjodohan? Kalian ingin aku menikah dengan salah satu dari mereka?"

Pak Karman menatap anaknya dengan tajam. "Husen, kita hanya ingin yang terbaik untukmu dan masa depan keluarga ini. Arum atau Adelia, keduanya pilihan yang sangat baik. Mereka bisa membantumu dalam banyak hal—baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi."

Husen terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan ayahnya. "Tapi aku tidak mencintai mereka. Aku sudah punya seseorang," katanya pelan.

"Dengar, Husen," kata Dian, dengan nada yang lebih keras. "Kamu masih muda dan belum paham apa yang terbaik untuk hidupmu. Sintia itu gadis yang baik, tapi dia tidak bisa membawamu ke mana-mana. Kamu butuh seseorang yang seimbang dengan ambisimu."

"Aku mencintai Sintia," kata Husen, kali ini lebih tegas. "Aku tidak peduli dia tidak punya latar belakang bisnis atau pendidikan yang tinggi. Dia membuatku bahagia, dan itu yang paling penting."

Pak Karman menggelengkan kepala. "Cinta itu tidak cukup untuk menjalankan hidup, Husen. Kebahagiaan yang sesungguhnya datang dari stabilitas dan kesuksesan, bukan sekadar perasaan sesaat."

Husen merasa frustrasi. Bagaimana mungkin keluarganya, yang selalu tampak mendukungnya, kini berusaha mengatur hidupnya tanpa memperhitungkan perasaannya? Dia tahu bahwa mereka hanya memikirkan keuntungan bisnis, bukan kebahagiaannya.

Di sisi lain, Sintia merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Husen mulai terlihat gelisah, meski dia tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sintia tahu bahwa Husen menghadapi tekanan besar dari keluarganya, tapi dia tidak tahu seberapa serius masalah itu.

Suatu hari, Sintia memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Husen. "Kamu terlihat berbeda belakangan ini. Apa yang terjadi?"

Husen terdiam, menatap Sintia dengan mata penuh kesedihan. "Sintia, keluargaku... mereka tidak mendukung hubungan kita. Mereka ingin aku menikah dengan gadis lain, seseorang yang lebih cocok untuk bisnis keluarga."

Sintia terkejut, meski dia sudah menduga sesuatu seperti ini. "Tapi kamu mencintaiku, kan?"

Husen mengangguk. "Aku mencintaimu, Sintia. Tapi mereka menekanku untuk memilih antara kamu dan masa depan yang mereka rencanakan."

Mata Sintia mulai berkaca-kaca. Dia tahu hubungan mereka tidak mudah sejak awal, tapi dia tidak menyangka akan seberat ini. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Husen menghela napas panjang. "Aku akan berjuang, Sintia. Tapi aku juga perlu waktu. Aku tidak bisa melawan keluargaku tanpa mempertimbangkan segalanya."

Hari demi hari, tekanan semakin kuat. Keluarga Husen semakin gencar dalam upaya menjodohkannya, sementara Husen semakin tertekan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa pilihan ini bukan tentang bisnis atau keluarga, melainkan tentang cinta yang tulus dan sejati. Namun, menghadapi keluarganya bukanlah hal yang mudah.

Pada akhirnya, Husen tahu bahwa dia harus memilih antara menuruti rencana keluarganya atau memperjuangkan cintanya pada Sintia. Dia berdiri di persimpangan yang sulit, dan keputusan apa pun yang diambil akan membawa konsekuensi besar dalam hidupnya.

Ayu Nirmala | 15/03/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang