Menunggu Yang Tak Pasti

40 7 1
                                    

Sintia duduk termenung di masjid kecil di sudut kota, di serambi masjid yang sama, selama hampir tiga tahun terakhir. Setiap Sabtu sore, dia akan datang, menunggu seseorang yang ia harapkan. Hatinya selalu dipenuhi dengan harapan, harapan yang semakin lama semakin tak tentu arah.

Dia jatuh cinta pada Husen, seorang lelaki yang dikenalnya sejak bangku Taman kanak-kanak. Husen bukan tipe yang mudah ditebak; dia hangat, perhatian, tetapi tak pernah memberi kejelasan. Setiap kali Sintia mencoba membahas perasaan, Husen selalu mengalihkan pembicaraan dengan senyuman dan kata-kata manis.

"Abang,aku mau tanya ayy itu artinya apa sih?" kata Sintia suatu malam ketika Sintia memberanikan diri untuk bertanya lagi. Sintia merasa sudah terlalu lama menunggu. Tapi setiap kali Husen tersenyum atau mengirim pesan, hatinya lebur, dan dia kembali berharap.

Hari ini, seperti hari Sabtu lainnya, Sintia menunggu di masjid itu. Pesan dari Husen beberapa hari lalu berbunyi singkat: " oh ternyata kamu masih ingat ya, ayy itu plesetan dari kata ayang yang aku berikan kepadamu sebagai nama spesialmu." Kata-kata itu seperti angin segar yang mengisi paru-parunya dengan optimisme baru. Dia membayangkan berbagai skenario di mana Husen datang, membawa kejelasan, bahkan mungkin lamaran.

Waktu terus berjalan, sore semakin kelabu. Jam dinding menunjukkan pukul enam, dan tak ada tanda-tanda kehadiran Husen. Masjid mulai rame, dan orang-orang pada menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati, sudah terbiasa melihat Sintia menunggu seorang yang mungkin tak akan pernah datang.

Dia membuka ponselnya, mencoba menghubungi Husen. Tak ada balasan. Rasanya familiar, seperti dejavu dari setiap kali dia menunggu pesan yang tak kunjung tiba, atau panggilan yang tak pernah dijawab. Dia mulai merasa lelah, lelah dengan harapan kosong yang selama ini dia dekap erat.

Kenyataannya semakin jelas bagi Sintia; Husen mungkin tidak akan pernah datang. Hubungan mereka selalu menggantung di udara tanpa fondasi yang jelas. Dia berharap pada sesuatu yang tak pernah pasti.

"Apa aku bodoh?" pikir Sintia, matanya mulai berair. Selama ini, dia membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, berharap akan sesuatu yang hanya dia khayalkan sendiri.

Akhirnya, Sintia berdiri, menghela napas panjang, lalu meninggalkan masjid tanpa menoleh lagi. Dia tidak tahu apakah Husen akan menghubunginya lagi, dan saat ini, dia sudah tak mau lagi peduli. Di luar, angin malam berhembus pelan, membelai wajahnya yang basah oleh air mata. Untuk pertama kalinya, Sintia merasa bebas dari belenggu harapan yang tak pasti.

Terkadang, berharap pada sesuatu yang tak pasti hanya akan membuat kita terjebak dalam kekecewaan. Ada saatnya kita harus melepaskan, berhenti menunggu, dan mencari jalan baru yang lebih jelas untuk diri kita sendiri.

Ayu Nirmala | 19/01/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang