Pertemuan Tak Terduga Didepan Masjid

44 7 1
                                    

Hari itu, langit Semarang terasa cerah, dengan matahari yang bersinar lembut di antara awan-awan tipis. Sintia baru saja menyelesaikan sholat Dzuhur di sebuah masjid kecil dekat kantornya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk singgah ke masjid itu saat jeda makan siang. Di dalam masjid, dia menemukan ketenangan yang sangat dibutuhkannya, terutama setelah begitu banyak perasaan dan pikiran yang berkecamuk di dalam dirinya belakangan ini.

Setelah menyelesaikan doanya, Sintia perlahan melangkah keluar. Udara panas Semarang langsung menyambutnya, namun dia merasa sedikit lebih ringan setelah menghabiskan beberapa saat dalam ketenangan. Namun, ketika dia melangkah keluar dari gerbang masjid, langkahnya tiba-tiba terhenti.

Di depan masjid itu, berdiri seseorang yang sangat dikenalinya: Husen.

Jantung Sintia berdegup kencang. Seketika, segala memori yang telah lama ia pendam mengalir deras ke permukaan. Sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali mereka berkomunikasi, dan lebih dari setahun sejak perpisahan mereka yang menyakitkan. Sejak surat Husen di akhir Januari tahun lalu, Sintia telah berusaha melupakan dan melanjutkan hidupnya. Tapi kini, dia berdiri hanya beberapa meter dari orang yang dulu sangat mempengaruhi hidupnya.

Husen tampak sedikit berbeda. Penampilannya lebih rapi, dengan baju cream sarung biru dan wajah yang terlihat sedikit lebih dewasa. Namun tatapan matanya masih sama, tatapan yang pernah membuat Sintia merasa nyaman sekaligus bingung.

Husen tampak sama terkejutnya melihat Sintia. Untuk beberapa detik, mereka berdua hanya saling menatap dalam keheningan, seolah dunia di sekitar mereka berhenti bergerak. Udara terasa tebal, penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan.

"Sintia?" Husen akhirnya memecah keheningan dengan suara serak.

Sintia mengangguk pelan, masih mencoba memproses perasaan yang tiba-tiba membanjiri hatinya. "Husen..." suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Husen tersenyum samar, lalu mendekat. "Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Sudah lama sekali..."

"Ya, sudah lama," jawab Sintia, mencoba tetap tenang meski hatinya terasa bergetar. Pertemuan ini sangat tak terduga, dan dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Bagaimana seharusnya dia bersikap kepada seseorang yang dulu menghilang begitu saja tanpa jejak?

Mereka berdiri di sana, beberapa detik yang terasa seperti selamanya, sebelum Husen akhirnya berkata, "Bisa kita bicara sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan."

Sintia ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. "Baiklah, di mana?"

Di bawah naungan sebuah pohon rindang di halaman masjid, mereka berdua duduk. Masjid di belakang mereka memberikan suasana yang damai, meski di dalam hati mereka masing-masing, masih ada banyak pertanyaan dan perasaan yang belum terjawab.

Husen menarik napas panjang sebelum berbicara. "Aku tahu mungkin aku adalah orang terakhir yang ingin kamu lihat. Tapi, aku harus jujur, sejak perpisahan kita, aku selalu menyesal, aku takut kalau salah piih pasangan."

Sintia menatapnya dalam diam. Kata-kata itu terasa seperti dejavu—sesuatu yang pernah ingin ia dengar setahun lalu, tapi sekarang terdengar berbeda. Ada bagian dalam dirinya yang terluka oleh cara Husen pergi tanpa penjelasan, dan meski pertemuan ini mungkin bisa membuka lembaran baru, perasaan itu tetap ada.

"Kenapa kamu pergi begitu saja, Husen? Tanpa kata-kata. Bahkan setelah kamu kirim surat itu... kamu menghilang," tanya Sintia, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia kira.

Husen menunduk, terlihat malu. "Aku tahu, itu salah besar. Aku, aku takut, Sintia. Ketakutan itu begitu besar hingga aku memilih lari daripada harus menghadapinya. Aku merasa tidak pantas berada di sisimu. Kamu semakin sukses, sementara aku, aku tetap di tempat. Aku bingung bagaimana harus bersikap."

Sintia terdiam sejenak, mencoba meresapi apa yang baru saja didengar. "Tapi dengan lari, kamu malah meninggalkan luka yang lebih dalam, Husen. Aku menunggu penjelasan, berharap kamu akan menghubungi, tapi kamu malah hilang begitu saja."

Husen mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. "Aku tahu. Aku sadar kalau aku salah. Setiap hari aku menyesali itu. Tapi aku terlalu pengecut untuk kembali. Sampai akhirnya, sekarang aku sadar bahwa aku harus menghadapi ini, meski mungkin sudah terlambat."

Hati Sintia terasa berat. Dia sudah berusaha keras melupakan Husen, melanjutkan hidup, dan membangun kembali dirinya setelah rasa sakit itu. Namun, pertemuan tak terduga ini membuka kembali luka yang sudah mulai sembuh. Meski begitu, ada sesuatu dalam diri Husen yang terlihat tulus kali ini. Tulus dalam penyesalannya.

"Apa yang kamu inginkan sekarang, Husen?" tanya Sintia akhirnya, suaranya tenang namun tegas.

Husen menatapnya, matanya penuh keraguan dan harapan yang samar. "Aku nggak tahu apakah masih ada tempat untukku dalam hidupmu. Tapi aku ingin minta maaf, dan kalau bisa, aku ingin kita bisa mulai lagi, bahkan kalaupun hanya sebagai teman. Aku nggak ingin menghilang lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya, kalau itu memungkinkan."

Sintia menatapnya dalam-dalam. Bagian dari dirinya merasa tersentuh oleh kata-kata itu, namun bagian lain masih dipenuhi rasa takut akan terluka lagi. Apakah dia benar-benar bisa memaafkan dan mempercayai Husen setelah apa yang terjadi? Apakah dia sanggup membuka diri lagi untuk orang yang pernah meninggalkannya tanpa penjelasan?

"Entahlah, Husen. Mungkin aku butuh waktu untuk benar-benar memikirkan ini," jawab Sintia jujur. "Aku sudah melalui banyak hal sejak kamu pergi, dan aku juga sudah banyak berubah. Aku nggak yakin apakah kita masih bisa seperti dulu."

Husen mengangguk pelan, menerima jawaban itu dengan tenang. "Aku mengerti, Sintia. Aku nggak mau memaksakan apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal dan ingin menebus kesalahanku."

Pertemuan itu berakhir dengan damai, meski masih ada banyak hal yang belum terjawab. Mereka saling berpamitan, dan Sintia melangkah pergi, meninggalkan Husen di halaman masjid, dengan perasaan campur aduk di dalam dadanya. Meski tak ada kepastian, pertemuan tak terduga ini memberikan Sintia sesuatu yang baru—penutupan yang selama ini ia cari, meski belum sepenuhnya selesai.

Dan mungkin, itu adalah langkah pertama menuju penyembuhan yang sebenarnya.

Ayu Nirmala | 16/01/2024

Kasih Yang Tersembunyi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang